Sabtu, 12 Februari 2011

NOVA - act. 1 : Meeting

Act 1 : Meeting

Alcyon Verrel
Pesawat Induk Utama Juggernaut, Armada Red Raccon
System Diomedes
15:45 waktu pesawat

Entah kenapa, setiap kali aku memandang gadis yang tertidur disana, rasa nyaman selalu mengganggu diriku. Ada perasaan yang hilang muncul kembali. Wajah yang begitu tegas, namun menenangkan, berputar kembali seperti jalinan film masa lalu. Kepingan kenangan yang membawaku kembali teringat akan masa-masa itu. Wajah cantik yang tak asing lagi. Aku seakan tak percaya dia akan berada disini dan kami akan sedekat ini.

“Ya?” aku sedikit terkejut saat ada seseorang menyentuh pundakku. Lamunan rupanya membuatku tak menyadari Oscar sudah disampingku.

“Sudah lama Anda duduk disini?”

Aku tersenyum seraya mengangguk kecil. Kututup buku yang tadi kubaca seraya menerima laporan dari Oscar. Tertulis banyak istilah kedokteran di epad ini dan semuanya menjelaskan kondisi terakhir gadis di depanku. Dengan tatapan bertanya aku memandang Oscar. Pria tua itu tersenyum.



“Seluruh tubuhnya sudah sembilan puluh persen pulih. Anda tidak perlu terlalu khawatir dengannya.”

“Sudah delapan belas jam berlalu sejak proses regenerasi tubuh. Kurasa dia sudah lebih baik sekarang. Sungguh teknologi yang luar biasa.”

“Begitulah, tapi pemulihan organ cukup rumit prosesnya, dua puluh delapan jam dalam tabung dan cairan katalisator, teknologi nano, revitalisasi jaringan, dan komputer organik...”, pria itu memandang gadis di depannya, “yang terpenting, dia masih bernyawa. Semua teknologi itu tak ada artinya bila dia mati. Dan kurasa mukjizatlah yang masih membuat jantungnya berdetak dalam kondisi kerusakan fisik dan trauma seperti itu.”

Aku mengangguk sambil mengikuti arah tatapannya.

“Sungguh tak kuduga Zakhon akan kembali melancarkan serangan terhadap koloni kita. Dalam sekejap mereka sudah menduduki Sistem Celesta, dan tak ada satupun Armada Galatia yang bertindak.”

“Mungkin karena invasi itu begitu mendadaknya dan tak terduga sampai Armada Galatia terpukau dan tak mampu berbuat apa-apa. Lagipula Kep (singkatan untuk Kapten), kita tahu sendiri kan sikap mereka terhadap Lingkar Luar?!”

Aku hanya mengangguk kecil. Tatapanku tidak beralih pada gadis yang terbaring tenang itu. Cukup lama aku menatapnya sampai tak sadar pria tua disampingku melihatku lagi.

“Apa yang begitu spesial dari gadis ini? Dari kemarin Anda begitu memperhatikannya.”

Aku tersenyum. “Dia kawan lama...”, tukasku singkat.

“Berarti dia pasti mengenal Anda!”

“Mungkin ya mungkin saja tidak, Oscar...”, jawabku, “Pertemuan kami hanya dalam medan perang Ragnarok. Aku infanteri mechron sedang dia seorang medis. Itu sudah lima tahun yang lalu. Mungkin dia sudah lupa.”

Pria itu manggut-manggut

“Mungkin perlu waktu setidaknya satu hari bagi dia untuk tetap tidur di bangsal hingga semua bagian tubuhnya benar-benar pulih total.”

“Ngomong-ngomong, butuh waktu berapa lama lagi hingga dia sadar?”

“Dia sudah tertidur cukup lama. Mungkin satu jam lagi, bila kondisi semuanya normal, dia akan terbangun. Bila Anda masih menungguinya disini, bagus juga bila nanti Anda mengajaknya ngobrol. Kondisi mental pasien akan lebih cepat pulih bila dia Anda ajak bicara.”

“Kau benar. Terima kasih”, tukasku tersenyum. Sesaat kemudian pria tua itu memohon diri. Tinggal kami berdua saja di ruang pasien ini. Saat pria itu keluar, aku melihat beberapa dokter dan perawat di bawah asuhan Oscar tampak hilir mudik sambil membawa berbagai kebutuhan obat-obatan untuk para pengungsi. Cukup banyak pengungsi yang kami selamatkan dari Hosperia. Walaupun menurut Oscar, itu hanya sedikit dari sisa populasi yang ada.

Aku kembali memperhatikan gadis itu. Sampai sejak saat Oscar datang tadi, aku terus mencoba-coba mengingat namanya. Aku sendiri heran bagaimana bisa melupakan nama gadis yang begitu berkesan seperti dia. Memang kalau dipikir, kita tidak pernah berbicara saat di medan perang. Paling hanya sekali dua diantara gemuruh bom. Lagipula tentu saja yang dibahas bukan soal menarik selain tentang bagian tubuh mana yang terluka dan hancur. Dia seorang medis. Kalau aku memakai mechron, dia menggunakan medivac, mechron khusus untuk pasukan medis. Tugasnya menyembuhkan para mechron yang terluka dan membawa mundur mechron yang hancur.

Tiba-tiba terlintas seberkas nama di pikiranku. Sarah! Ya! Itulah namanya! Aku mengangguk kecil sambil tersenyum puas. Sarah Fleuret. Aku bisa mengingat nama itu saat dia memperkenalkan diri ketika acara briefing di KroniR. Dia masih sembilan belas tahun. Gadis yang begitu tegas dan berani. Kadang kalau dipikir, seandainya dia bisa sedikit kalem, dia akan tampak begitu anggun. Tapi kondisi kami tidak memungkinkan dia berlaku seperti itu.

Ratusan kepingan-kepingan kenangan yang mendadak muncul begitu menarik untuk dibahas. Bertemu kawan lama seperti bernostalgia dengan masa lalu. Reuni yang hangat. Terutama bila orang itu adalah gadis yang begitu spesial. Seseorang yang pernah mengusik hatimu.

***

Sarah Fleuret
Pesawat Induk Utama Juggernaut, Armada Red Raccon
System Diomedes
16:30 waktu pesawat

Pikiran membawaku kembali pada Koloni Imparis. Pada serangan alien yang begitu mengerikan. Pada benda seperti ubur-ubur yang jatuh berhamburan seperti hujan api dari atas langit. Pada makhluk seperti kera dengan lendir menjijikkan. Pada orang-orang yang berlarian tanpa arah mencari keselamatan. Pada pesawat penyelamatyang tiba-tiba berangkat tanpa sempat menunggu kami sesaat. Pada Aisha yang kubawa dalam kursi roda. Pada puluhan ledakan dan gedung yang runtuh dimana-mana. Pada saat aku kehilangan pegangan lengannya ketika sebuah ledakan memisahkan aku dan Aisha.

Itulah saat terakhir aku bersama adikku, sebelum akhirnya Osmo menyadarkanku di suatu ruang bawah tanah.

Pikiranku melayang semakin jauh. Lima tahun yang lalu. Aku terbayang akan Ragnarok. Tentang ceceran darah dan jeritan pilu dimana-mana. Aku terbayang akan kuburan ayah ibuku. Kuburan tanpa nisan. Orang tuaku yang dikubur bersama-sama korban Ragnarok yang lain di sebuah lapangan luas. Mereka meninggalkan kami sendirian. Aku dan adikku yang lumpuh.

Tapi Aisha, meskipun dia tidak berdaya. Dia lebih tegar dari aku. Matanya yang biru tulus, memberiku kekuatan saat menghadapi kerasnya kehidupan. Aku bangga padanya. Selain begitu kuat, Aisha juga sangat cantik. Bila dibandingkan dengan aku yang mirip ayah, tegas dan keras. Aisha malah mirip ibu, lembut dan penyabar. Entah bagaimana aku bisa melalui hidup yang sulit ini kalau tidak ada dirinya. Perusahaan ayah yang bangkrut meninggalkan begitu banyak hutang. Ragnarok mempersulit segalanya. Ditambah biaya pengobatan Aisha yang begitu mahal. Kadang aku menangis dalam kesunyian karena aku malu bila tangisku didengar Aisha. Dia lebih menderita dariku, tak pantas rasanya bila aku berbagi kesusahan ini dengannya.

Dan kini, aku tidak tahu bagaimana nasib Aisha yang begitu kulindungi? Apa dia berhasil ikut rombongan evakuasi? Atau dia tertinggal di Imparis? Tapi, dengan kondisi seperti itu, mampukah dia mencapai pesawat penyelamat?

Selamatkah dia? Masih hidupkah dia? masihkah dia di atas kursi rodanya? Karena kalau tidak, dia pasti akan terduduk tak berdaya. Kalau sudah begitu, mampukah dia menghindar dari terjangan monster-monster itu? Sarah bodoh! Menjaga adiknya sendiri tidak mampu. Kakak macam apa aku ini? Sungguh memalukan! Sekarang saat aku mati, bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua itu kelak di hadapan ayah ibu?

Pikiranku membimbingku pada kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau para makhluk biadab itu berhasil menangkapnya?

Bagaimana saat Aisha harus berhadapan dengan salah satu dari mereka?

Tusukan monster itu begitu menyakitkan. Akankah Aisha mengalaminya?

Apakah dia juga mengalami rasa sakit yang menyayat, amat sangat, seperti saat aku dicabik-cabik mereka?

Tunggu, haruskah dia dirobek-robek juga hingga ususnya terbuai?

Dia tidak bisa lari. Dia tidak akan mampu berteriak. Tidak akan ada yang menolongnya.

Aku teringat mata biru yang lembut itu lagi. Aku teringat senyum tulusnya. Aku merasa begitu bersalah padanya, pada ayah ibu.

Aisha, maafkan aku. Aku yang bersalah tidak bisa menjagamu. Tolong, maafkan aku.

Ayah, ibu, maafkan anakmu ini.

Hangat, aku bisa merasakan air mata menetes di pipi. Seketika aku mendapati jantungku masih berdenyut. Tanganku masih bisa bergerak. Aku membuka mata perlahan. Apakah aku sudah di surga? Ayah dahulu sering bercerita tentang surga. Tempat tujuan orang baik yang sudah meninggal. Penglihatanku yang masih buram mencoba mencari tahu bila tempatku tertidur ini adalah surga. Inikah saatku bertemu dengan orang tuaku?

“Di... dimana ini?” ujarku pelan saat kudapati aku masih bisa bersuara. Kukerjapkan mataku berkali-kali agar pemandangan yang kulihat tidak lagi buram. Kudapati kumpulan selang plastik dan beberapa komputer berjejer di sampingku. Suara bip terdengar berulang kali dalam interval yang sama tertangkap telingaku. Aku menjadi tak yakin kalau ini surga. Ayah tidak pernah menceritakan surga dipenuhi selang plastik dan komputer-komputer. Jadi, apa aku masih hidup?

Seorang pria muda yang kudapati sibuk membaca buku tengah melangkah ke arahku.Mendekatiku. Wajahnya seperti tak asing. Dia cukup tampan dengan rambut peraknya yang panjang dan diikat ekor kuda.

“Kau sudah sadar?” tukasnya saat melihatku bangun, “sebentar, akan kupanggilkan perawat.”

Dia pergi keluar. Aku masih berusaha menangkap apa yang terjadi. Kulihat perutku, bagian tubuh yang seharusnya sudah terburai, sekarang sudah utuh. Kulihat kaki kananku yang hancur, sekarang juga sudah kembali utuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih hidup? Atau dunia orang mati itu seperti ini?

“Syukurlah, kau masih hidup”

Kulihat pria tampan tadi sudah ada di sampingku bersama seorang perawat. Sementara para perawat masih sibuk bekerja, pria itu duduk kembali di tempatnya semula.

“Dimana aku?” tanyaku lagi padanya.

“Kau aman bersama kami di Juggernaut. Kami menyelamatkanmu saat para Locus hendak menghabisimu.”

“Aku... dimana?”

“Juggernaut. Kapal induk Juggernaut. Armada Red Raccon. Kau pernah dengar?”

Seketika aku teringat sesuatu. Pria di depanku itu. Sekarang aku mengenalnya.

“Al... Alyson...”

“Alcyon Verrel...”, balasnya sambil tersenyum,”Senang kau bisa mengingatnya.”

Benar. Itu namanya! Aku melihatnya bolak-balik di UNN maupun di siaran berita lain. Di Uninet maupun di seluruh surat kabar manapun. Terpampang dalam ukuran besar, dengan tulisan ‘Dicari’.

“Kau... Alcyon Verrel, pimpinan pemberontak separatis terhadap Persemakmuran Galatia! Kau yang dicari tentara persemakmuran dan dihargai lima juta Credits...!” tukasku sambil mundur beberapa senti ke belakang saking terkejut. Tapi tubuhku yang masih lemah sulit diajak bekerjasama.

Kalau dia Alcyon, seperti yang diberitakan di UNN, maka dia adalah pria biadab keji yang tak pernah mengenal ampun terhadap warga sipil sepertiku. Pernah kudengar di UNN dia suka menculik warga sipil untuk dijual di pasar gelap galaksi. Apakah dia akan melakukan hal sama padaku?

“Me...mengapa kau me...menolongku?” tanyaku ketakutan, “Apa kau mau me... menjualku?”

Pria itu tersenyum lagi. Dia berdiri mendekat ke arahku.

“UNN terlalu membesar-besarkan. Aku tidak seburuk itu”, tukasnya. “Kebetulan kami sedang melalui Lingkar Luar. Kudengar Zakhon tengah bergerak menuju Celesta. Jadi kami saling berkejar-kejaran. Sayang kami kalah cepat. Zakhon sudah memusnahkan segalanya saat kami mencoba menyelamatkan penduduk di koloni. Beruntung, dirimu salah satu yang berhasil kami selamatkan.”

“Be...betulkah?” ucapku agak tidak percaya. Orang jahat biasanya suka ngomong licik. Nada bicaraku yang sinis membuat dia tersenyum getir. Aku bisa melihat ekspresinya.

“Para ilmuwanku berhasil meregenerasi tubuhmu yang hancur. Untunglah sampai dibawa kemari jantungmu masih berdetak. Kau mengalami... apa ya istilahnya, koma.... Sungguh suatu mukjizat mendapati kau masih hidup walaupun tubuhmu berantakan. Dengan berbekal jantung yang masih berdetak itu kami memulihkan dirimu.”

Aku memandangnya terheran-heran. Benarkah yang dia katakan?

“Me... mengapa... maksudku, terima kasih sudah berbuat begitu banyak bagiku”, ujarku menatap wajahnya. Dia tersenyum.

“Mengapa kami menolongmu? Mungkin karena panggilan moral... Kau tahu? Kita sama-sama Gaian!”

Aku tersenyum sambil masih keheranan. Benarkah gerombolan pemberontak yang digembar-gemborkan terkenal anarkhis itu telah berbuat sedemikian baik bagiku dan koloni? Aku belum sepenuhnya percaya.

“Aku Alcyon Verrel, uhm, kau sudah tahu ya... Siapa namamu?”

“Aisha...”, mendadak terbersit wajah adikku di otakku. Aku sampai tak sempat fokus menjawab pertanyaannya.

“Aisha? Bukannya Sarah?”

Huh? Dia bilang Sarah? Entah aku yang salah dengar atau dia mengucap namaku dengan benar. Tapi, mustahil dia mengetahui namaku? Kami belum pernah bertemu.

“Apa kau bilang tadi?” tukasku memastikan.

“Tidak... Tak apa!” timpalnya sambil tersenyum lagi. Sial, bajingan seperti dia begitu murah senyum. Tampan lagi! Kuyakinkan diriku kalau aku memang salah dengar.

“Oke. Tadi kau bilang, kau menyelamatkan orang-orang Koloni Imparis juga? Selain aku?”

Dia mengangguk.

“Apa... kau bertemu adikku? Na...namanya Aisha... dia menggunakan kursi roda. Dia cacat...” tanyaku penuh harap. Dalam hati aku sembari berdoa, semoga Aisha memang benar-benar berhasil ikut rombongan pesawat penyelamat dan berhasil berada di tempat yang sama denganku.

“Tunggu sebentar!” Kulihat pria itu bergegas keluar, mungkin sedang mencari info tentang adikku. Kembali, keraguanku muncul ke permukaan. Pria itu, tidak sejahat yang dibicarakan orang! Atau dia masih sedang bersandiwara sekarang?

Pria itu datang lagi sambil membawa sejenis epad. Berkali-kali dia menyentuhkan tangannya di layar touch screen. Wajahnya yang begitu tenang membuatku tak bisa membaca isi pikirannya. Berhasilkah adikku ditemukan?

Nyatanya dia menggeleng.

“Tidak ada nama Aisha disini.”

“Aisha Fleuret... Coba cari nama keluarga kami, Fleuret!” tukasku lagi sedikit memaksa. Pria itu mengangguk sambil kembali sibuk dengan epadnya.

Tolong, jangan bilang kau tak menemukannya!

“Maafkan aku...”

“Bolehkah aku pegang...?” pintaku. “Mungkin aku bisa menemukannya...”

Dia memberikan epad padaku. Dengan penuh semangat dan perasaan was-was aku melihat satu-persatu wajah disana. Ada sekitar dua ribu rekod yang harus diperiksa. Dengan tekun kucari Aisha. Pria itu hanya diam saja sambil kembali ke kursinya. Aku terus mencari.

Seperempat jam aku mencari tapi akhirnya nama Aisha Fleuret, begitu pula foto dirinya, tidak berhasil aku temukan. Tubuhku yang masih belum kuat sepenuhnya langsung melemah. Kurebahkan diriku di atas bantal yang empuk setelah rekod terakhir kuperiksa. Pandanganku menerawang di langit-langit ruangan..

Aku sampai pada kesimpulan, adikku tidak ada di pesawat ini! Dia masih menghilang.

“Tidak ada disana bukan berarti dia tidak selamat.”

Pria itu sudah berdiri disampingku sambil mengambil kembali epadnya. “Mungkin dia berhasil bersembunyi di suatu tempat yang aman di Imparis.”

“Aku tak seyakin itu. Dia lumpuh. Lumpuh akibat Ragnarok! Aku yang seharusnya menjaganya... Aku... aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri kalau dia mati...”

Kutundukkan muka. Sekelebat bayangan tentang adikku perlahan muncul lagi di permukaan. Mataku memanas. Serasa air mata mengalir di pipi. Aku mulai menangis lagi. Pedih rasanya tidak bisa menjaga amanat terakhir orang tua, menjaga Aisha.

Seorang pria berkulit hitam dan tubuh yang gempal memasuki ruangan. Alcyon menoleh ke arahnya. Pria itu menginformasikan sesuatu kepada Alcyon diikuti anggukan paham dari pria itu. Dia lalu pamit pergi setelah sebelumnya menyempatkan melirik kepadaku.

“Pria tadi adalah Neil. Dialah yang bertanggung jawab mengendalikan kapal ini. Neil bilang kami sudah sampai di tujuan kami.”

“A...Aku juga ingin pergi...”, tukasku cepat. “Aku harus kembali ke Imparis mencari adikku!”

“Wow! Tunggu! Kau harus beristirahat dulu setidaknya dua puluh empat jam ke depan! Tubuhmu belum pulih benar!”

“Ta...tapi Aisha juga tak bisa menunggu! Dia pasti juga sedang mencariku! Akan sangat berbahaya gadis lumpuh seperti dia terlalu lama sendirian di sarang Zakhon! Aku harus kesana!”

“Tunggu Nona Fleuret!”

Aku menatapnya.

“Namaku Sarah dan kau takkan bisa menahanku! Aku akan menuju Imparis!” tukasku lagi sambil berusaha bangkit dari bangsal. Saat mencoba berdiri, kakiku rupanya masih terlalu lemah menopang tubuhku. Aku hampir terjatuh saat Alcyon datang menopang tubuhku.

“Kau lihat sendiri kan!”

Aku menepiskan topangannya. Dengan sekuat tenaga kuraih bangsal dan aku memaksa berdiri bertopang kaki kiriku. Kaki kananku yang masih baru diregenerasi takutnya tak mampu menahan berat tubuhku.

“Sarah, sekarang kita di Sistem Mystian. Celesta jauhnya lima puluh tahun cahaya dari sini. Kalau hanya mengendarai kapsul kau takkan mampu. Harus menggunakan kapal induk”, tukas Alcyon dari belakangku. Tiba-tiba dia meraih punggung dan kakiku. Pria itu menggendongku.

“Aku janji. Pertemuanku dengan Ratu Auria takkan lama. Sejam lagi, kita akan menggunakan warp dan kembali ke Celesta. Satu jam! Aku berjanji!”

Deg! Aku terkejut saat pria itu menggendongku. Entah kenapa tiba-tiba aku, secara refleks, mengangguk. Tatapannya membuat tekadku bimbang. Tatapan yang begitu menenangkan. Kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang? Kenapa wajahku mendadak hangat? Dekapan pria itu seperti membiusku. Aku bahkan tak bisa kembali fokus dengan pencarian adikku. Apa yang terjadi padaku?

“Aku akan kembali”, tukasnya lagi, “Saat jarum jam disana menunjuk angka enam, kau sudah sampai di Celesta. Oke?! Sekarang istirahatlah!”

Aku ditaruhnya lagi di atas ranjang. Pria itu tersenyum manis sambil membenahi selimutku. Tak lama dia berpamitan dan keluar ruangan, meninggalkan aku yang masih saja bertanya-tanya.

Kenapa wajahku tiba-tiba bersemu merah?

***

Baca selengkapnya......

NOVA - prolog

Prolog

Sarah Fleuret
Koloni Imparis
Planet Hosperia, System Celesta
10:20 waktu setempat

“Sarah!!!”

“Bangun Sarah! Ayo bangun!”

Kukerjapkan mata. Perlahan kulihat sosok buram di depanku menggenggam erat pundakku dan menggoyang tubuhku panik. Osmo, wajahnya menyiratkan kelegaan luar biasa saat melihat aku masih mampu duduk. Pria itu seperti tengah mengucap sesuatu. Aku masih belum bisa mendengarnya gara-gara telingaku yang berdengung. Kencangnya suara gemuruh ledakan yang terdengar meredam suara Osmo. Banyak tubuh tak bernyawa di ruang bawah tanah itu. Hanya kami berdua setidaknya yang masih utuh.



“Kau tak apa…? Teriakannya berhasil kutangkap diantara ribuan ledakan. Aku mengangguk lemas sambil berusaha menahan tubuh tetap sadar. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba bayangan wajah seseorang terlintas di kepalaku. Kucengkeram lengan Osmo.

“Aisha!? Mana Aisha?!” ucapku panik. Pikiran tentang keselamatan adikku memberikan tenaga tersembunyi dalam tubuhku. Tiba-tiba sakit yang kuderita hilang semua. Rasa khawatir mengendalikan tubuhku.

“Maafkan aku Sarah…”, tukas Osmo sambil meringis kesakitan karena lengannya kugenggam, “hanya kau yang berhasil kutemukan dan kubawa kemari. Aku... tidak melihat Aisha...”

“Apa?!” aku tercengang, saat evakuasi aku yakin masih menggenggam erat tangannya dan sekarang dia menghilang?

“Pesawat penyelamat juga sudah pergi… Kita tertinggal disini…”

Aku terkejut, “Mereka telah pergi? Bagaimana dengan yang masih tertinggal?”

“Aku tidak tahu… Hei! Kau mau kemana?” teriaknya melihatku berusaha keluar dari tempat itu. Digenggam lenganku keras pertanda aku tidak boleh pergi. Aku berontak.

“Aku harus menemukan Aisha!”

“Disana terlalu berbahaya! Zakhon ada dimana-mana! Tunggulah disini setidaknya sampai marinir datang, lalu kita cari bersama-sama adikmu!”

“Terlalu lama menunggu dia bisa mati! Kau tahu sendiri kan bagaimana kondisi Aisha!”

Osmo mengendurkan pegangannya. Aku masih menatapnya lekat saat pria itu berdiri bersamaku. “Kau ikut?” tanyaku padanya. Dia akhirnya mengangguk lemah.

Kami melangkahkan kaki menuju pintu masuk dimana terdapat pintu baja yang sudah tergeletak hancur. Meskipun ruangan ini sudah didesain sebagai tempat evakuasi warga sipil, tapi tetap saja Zakhon mampu menghancurkannya. Pertolongan pastilah terlambat datang, kalau tidak orang-orang yang bergelimpangan disini masih hidup sekarang. Zakhon sudah membunuh semuanya. Mungkin hanya kami saja yang beruntung karena sempat bersembunyi.

Situasi di luar tidak lebih baiknya daripada di dalam. Kota sudah sepenuhnya hancur. Asap hitam membumbung tinggi dimana-mana. Tanah dipenuhi lubang-lubang besar, gedung runtuh sepenuhnya, kobaran api menyala diantara puing-puing kendaraan dan mayat manusia. Aku melihat ratusan benda terbakar jatuh dari langit merah kelabu. Benda itu berbentuk seperti ubur-ubur, berwarna ungu gelap, dan bertentakel. Beberapa darinya menghampiri tempatku berada. Osmo menarik tanganku dan membawaku ke tempat teraman terdekat.

DHUAAARRR!!!

Satu dari mereka menghantam tempatku tadi berdiri dan meninggalkan sebuah lubang yang cukup besar. Benda berwarna ungu itu kemudian melepuh disertai keluarnya cairan lengket dan lima buah benda bulat bening.

“Zakhon!” tukas Osmo ketakutan, “Ayo Sarah! Kita menjauh!”

Aku masih bisa melihat sesuatu melesak keluar dari benda berbentuk seperti telur itu. Seekor makhluk aneh. Bentuknya seperti kera tapi memiliki sisik hitam keras, penuh lendir, dan memiliki lengan penuh cakar-cakar tajam. Sementara itu tubuhnya sendiri hampir diselimuti duri tajam seperti tanduk, dari kepala hingga ujung ekornya yang panjang. Ada sekitar lima makhluk serupa yang keluar dari benda itu. Osmo menyeretku semakin menjauh.

“Kau cari mati hah? Ayo cepat kita pergi!” teriak Osmo sambil membawaku menuju reruntuhan sebuah mall. Aku menurut saja. Ratusan benda seperti tadi semakin gencar berjatuhan dari langit. Aku menggenggam tangan Osmo semakin erat. Kami terus berlari sebelum akhirnya aku melihat benda ungu itu menghampiri kami.

“Osmo! Menghindar!”

Terlambat kami menyadari saat benda itu menghantam tanah tak jauh dari tempat kami berdiri. Ledakan dahsyat menghantam tubuh kami dan melempar kami ke belakang. Osmo menghantam sebuah dinding gedung sementara aku sendiri terhempas ke atas trotoar. Sama seperti benda mirip ubur-ubur yang kutemui tadi. Benda di depan kami itu melepuh dan mengeluarkan butiran benda bulat bening. Beberapa diantaranya sudah melepaskan makhluk mirip kera seperti yang kulihat tadi.

“Sarah!”

Suara Osmo yang berulang-ulang membantuku tetap sadar. Aku bisa melihat kondisi Osmo tidak terlalu baik. Pria itu seperti tengah kesulitan berdiri. Disandarkan tubuhnya di sebuah reruntuhan dinding sementara benda seperti besi tengah menancap di kakinya. Darah merah keluar deras dari kakinya. Aku menjerit perlahan.

“Tahan Osmo! Aku akan kesana!” pintaku sambil sedikit berteriak. Kupaksakan tubuhku yang masih lemah untuk berlari mendekatinya. Namun belum sampai lima meter aku berlari, beberapa ekor makhluk yang menyerupai kera itu menghampiri Osmo. Salah satu dari mereka menancapkan lengannya yang penuh cakar ke kepala Osmo, menghancurkan kepalanya. Tanpa sadar aku menjerit keras.

“OSMO!!!”

Makhluk-makhluk disana berebut mengoyak pria itu seperti anak kecil berebut kue. Aku tak bisa menjelaskan seperti apa bentuk Osmo sekarang. Tubuhku terlalu lemas untuk digerakkan. Makhluk-makhluk itu kini bergerak ke arahku. Tiga matanya yang berwarna hijau tua bergerak memandangku. Tatapan mereka keji seakan telah menemukan mangsa baru yang siap dihabisi.

Seekor makhluk melompat mendatangiku. Dikibaskan lengannya tepat ke arahku. Dengan sisa tenaga yang ada kupaksakan diriku bergerak. Tapi gerakanku tidak lebih cepat daripada lengan makhluk itu yang menghujam betis kananku. Aku menjerit keras. Darah memancar kemana-mana. Makhluk itu meraung kencang. Aku memegang betisku yang sudah hancur sambil menjerit kesakitan.

Seakan tak kenal ampun, Seekor makhluk lagi menyusul rekannya menyerangku. Cakarnya yang hitam berlendir menancap keras di tubuhku. Aku bisa melihat buraian usus dan darah melesak keluar dari perutku. Aku mendelik. Ribuan rasa sakit menjalari kepalaku hingga ubun-ubun. Darah segar keluar dari semua penjuru tubuhku. Aku menjerit, mengerang keras karena rasa sakit yang tak terkira. Tubuhku menggelepar-gelepar. Aku sekarat.

Saat makhluk itu hendak mencabikku lagi, aku merasa sebuah cairan biru kental memenuhi wajahku. Cairan biru yang amisnya seperti darah. Tak lama aku mendengar jeritan yang lain. Tubuh-tubuh makhluk itu berjatuhan di sekitarku. Beberapa dari mereka menggelepar di tanah sebelum kepalanya yang mirip kera itu hancur berhamburan. Aku belum sempat mencari tahu cukup banyak tentang apa yang terjadi karena rasa sakit yang teramat sangat itu membuatku kehilangan kesadaran. Aku merasa semuanya menjadi gelap.

***

Alcyon Verrel
Kapal Induk Utama Juggernaut
Orbit Planet Hosperia, System Celesta
12:40 waktu pesawat

Suara desis kencang terdengar saat bilah baja itu terlepas dari dadaku. Perlahan-lahan beberapa bagian armor mechron terbuka dan melepaskan tubuh di dalamnya. Aku bisa merasakan segarnya hawa penyejuk ruangan setelah helm baja dilepas. Suasana di dalam mechron memang cukup panas. Maklum, armor itu didesain hanya untuk bertempur, bukan untuk bersantai. Beberapa pria berpakaian putih, para ilmuwan, menatapku dengan penuh hormat. Aku tersenyum dan menerima sebotol Oxyd sebelum akhirnya salah seorang paling tua diantara mereka menghampiriku.

“Tak kusangka Zakhon akan secepat ini menyerang Celesta. Hosperia telah jatuh, hanya sedikit dari total populasi yang tersisa berhasil kita selamatkan.”

“Bagaimana dengan orang-orang yang kubawa?”

“Anda terlalu nekat turun ke permukaan hanya demi menyelamatkan segelintir orang yang mungkin sudah tidak terselamatkan lagi. Separuh dari mereka sekarat, Kapten!”

“Mereka tidak menginginkannya, Oscar! Lagipula pesawat angkut kita tidak sempat menyelamatkan mereka. Gempuran balik dari pihak Zakhon terlalu kuat. Aku saja baru bisa turun setelah mereka mundur.”

“Kita juga menyerang balik, Kapten! Jangan mengabaikan Red Raccon! Armada kita juga kuat!”

“Kau benar!” aku tersenyum, “Dan sudah kewajiban kita untuk menyelamatkan mereka yang sengaja diabaikan oleh Galatia. Kalau bukan kita yang mengayomi, siapa lagi?” tukasku lagi sambil meminum Oxyd. Hosperia dengan warna merahnya berkilau indah di depan jendela pesawat kami. “Persemakmuran sudah melupakan penduduk sipil yang berada di Lingkar Luar. Mereka adalah orang-orang malang yang merupakan santapan lezat bagi Zakhon.”

Pria tua di sampingku tertawa.

“Lalu, gadis itu, apa dia selamat?”

“Dia satu-satunya yang aku sendiri tidak yakin akan keselamatannya. Organ dalamnya terburai, tubuhnya hancur. Saat kaubawa kemari, aku sendiri heran kenapa dia masih bernafas. Kami sudah melakukan apa yang kami bisa untuk menjaganya tetap hidup.”

Aku mengangguk. “Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Tolong, berikan yang terbaik!” pintaku pada pria beruban itu. Dia tersenyum.

“Neil memberitahuku bila kapten sudah naik nanti, tolong beritahu dia, Putri Auria dari Kerajaan Mystian ingin bertemu dengannya.”

Aku mengangguk. Kulangkahkan kaki memasuki lift yang akan mengantarku menuju Ruang Kendali Pesawat. Misi kami di Hosperia sudah selesai. Neil tentu sudah menunggu koordinat pesawat selanjutnya disana.

***

Baca selengkapnya......