Kamis, 17 Maret 2011

Night After Days

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya…”

Vincent memandang pria berkulit gelap di depannya. Sebuah tuxedo membalut tubuhnya yang tampak terlalu tua. Tongkat kayu oak gelap dengan ukiran ular berkepala dua yang melilitnya menjadi tumpuan tangannya yang dipenuhi keriput.



“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku. Gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku…”

Vincent mencabut Behemoth, rapier berwarna keperakan miliknya dengan lambang ordo Florence di pangkalnya. Nampak oleh Vincent, aura di sekitar pria itu semakin gelap.

“Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku. Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak, pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku...”

Doa itu menguatkan hati Vincent. Dia tak ingin membuang waktu. Dilangkahkan kakinya menghampirinya pria itu. Vincent dapat melihat bayangan yang membias dari tubuh di depannya. Bayangan sebuah Iblis.

Para musuh Tuhan...

Catedral Demone Agguato

Vincent de Florence, pemimpin Centurione Servo di Dioyang selama sepuluh tahun ini telah membela bumi dan Kerajaan Surga dari gempuran Demone Esercito, bala tentara iblis yang dipimpin Memphisto Felles. Vincent adalah ketua dari Ordo Ksatria Florence, ordo yang paling disegani di Centurione Servo di Dio. Tentara mereka selalu berada di garis depan dan selalu berhasil memukul mundur gempuran musuh. Jasa Vincent sangat besar bagi Kekaisaran Lutheria. Dia memiliki gelar bangsawan dengan kasta tertinggi dan semua wewenang mengendalikan kekuatan militer Kekaisaran. Dialah panglima utama Lutheria dan tangan kanan Kaisar Cordelia de Celestyn sendiri, yang sebenarnya masih terlalu muda untuk memerintah.

Perang dengan Demone Esercito yang sudah berlangsung hampir dua puluh tahun kini hampir mendekati klimaksnya. Pasukan iblis dengan liciknya berhasil menemukan jalur tersembunyi untuk mendekati Demone Agguato. Di katedral terpencil ini, Keuskupan Ortodhox menyembunyikan Satana Artefatti, kunci untuk membangkitkan lagi Lucifer The Fallen dari kematiannya. Kunci itulah benda yang diinginkan Memphisto Felles selama ini. Kunci yang mampu mewujudkan semua cita-citanya.

Dan sekarang mereka berdua berhadapan. Seiring dengan tatapan mata birunya yang tajam, langkah Vincent begitu cepat mendekati Felles. Behemoth di tangannya menyala merah karena hawa iblis yang dipancarkan musuh. Bilahnya yang tajam menghampiri leher Felles yang terlihat begitu rapuh dengan kecepatan tinggi. Tapi tubuh tua itu tidak lamban. Felles menangkis serangan Behemoth dengan tongkatnya.

Sebuah tabrakan kekuatan antara Cahaya dan Kegelapan menghancurkan katedral tempat mereka bertarung. Kursi-kursi dan segala benda disana berhamburan dan hancur berantakan. Vincent mencoba mundur sambil mengambil ancang-ancang. Felles tersenyum keji.

“Sangat mempesona. Tak heran, Cordelia begitu kagum pada Anda”, ucapnya sinis.

“Jangan sebut nama Yang Mulia dengan mulut ularmu yang lancang!” teriak Vincent. Satu lagi tebasan dari Behemoth. Felles menangkis serangan itu dengan tongkatnya. Vincent mengambil ancang-ancang dan mencoba menebas dari sisi berbeda. Tapi mata kelam Felles begitu waspada. Dia menangkis lagi serangan lawan. Vincent mencoba lagi dari sisi yang lain. Felles masih mampu memperhatikan gerakan Vincent sambil terus tersenyum. Dia berhasil menangkis semua serangan dari Behemoth.

“Hanya begini, kekuatan dari panglima nomor satu Lutheria?”

Vincent tidak berhenti. Tawa mengejek Felles tidak menyudutkan dirinya. Dia mencoba menyerang dengan gerakan yang lebih cepat. Sapuan bilah tajam Behemoth menghantam pangkal tongkat Felles. Tenaga dorong yang lebih laju membuat pria tua itu terdorong ke belakang.

“Urgh…!”

Ini pertama kalinya Felles cemberutseakan ada sesuatu yang mengganggu harga dirinya. Vincent tersenyum mencemooh. Dia menghantamkan lagi Behemoth. Felles yang terganggu konsentrasinya tidak sempat menghindar. Tuxedo hitam miliknya jadi korban. Satu serangan lagi. Sebuah tusukan menghantam lengan Felles. Darah hitam menjijikkan muncrat dari mulutnya saat Vincent menendang dadanya dan membuat tubuh renta itu terhempas ke altar.

Vincent mengambil nafas dengan mundur lagi ke belakang. Felles tampak sangat geram mendapatkan perlakuan ini. Dia memandang pria muda di depannya dengan kekesalan yang seakan tak berkesudahan. Taring-taringnya yang tajam dipamerkannya melalui seringai yang begitu mengerikan. Bola matanya yang hitam dan pupil yang merah melotot menatap Vincent. Keriput-keriput di mukanya tampak semakin jelas.

“Kau memaksaku melakukan ini, Anak Manusia!”

Vincent bisa memperhatikan bagaimana tangan pria tua itu bergetar. Ukiran ular di tongkatnya tiba-tiba hidup dan bergerak merambati tangan Felles. Sebuah gelombang hitam yang muncul dari lantai Katedral mengiringi gerak ular tadi dan membungkus tongkat itu.

Perlahan tapi pasti, tongkat kayu itu berubah menjadi pedang dengan bilahnya yang berwarna gelap pekat. Sementara matanya yang terus melotot garang, urat-urat nadi di sekitar kepalanya bermunculan. Tangannya yang renta tiba-tiba berotot dan menampilkan bentuk yang menakutkan dengan kuku hitam panjang di setiap sisinya. Seringainya semakin tajam dengan taring-taring yang semakin panjang. Tiba-tiba sesuatu menyobek tuxedo di bagian punggungnya dan tersibak ke udara bebas. Sebuah sayap kelelawar di punggung kirinya.

Vincent terpana. Meskipun sudah menduga ini yang akan terjadi, dia tetap terkejut melihat wujud separuh iblis dari Memphisto Felles untuk pertama kalinya. Behemoth di genggamannya bersinar semakin merah, menandakan aura iblis di depannya semakin kuat.

“Akan kutunjukkan padamu, kekuatan seorang Count!” raung Felles. Diarahkan lengan kirinya ke langit-langit. Tiba-tiba atap katedral hancur berantakan. Dikibaskan sayap di punggung kirinya, Felles membumbung tinggi ke langit.

Vincent menjejakkan kakinya. Dia melompat menyongsong Felles yang melayang di atas sana. Di ketinggian empat puluh meter dia berhasil menghampiri iblis itu sambil mengibaskan Behemoth. Namun Felles yang sekarang lebih lincah dan cepat. Dia menghantamkan terlebih dahulu Astaroth, pedang hitam besar yang digenggamnya. Vincent menangkis serangan itu.

Dia lalu mengambil gerakan memutar menyongsong sisi kiri musuh yang tak terjaga. Tapi gagal. Felles berhasil mengambil alih situasi. Gerakannyayang begitu cepat berhasil mengambil ruang kosong di depan lawan. Vincent terkejut. Dia tidak siap mematahkan serangan Felles. Tebasan Astaroth hampir menusuk leher depannya seandainya Behemoth tidak membelokkan jalur pedang musuhnya ke arah kiri. Vincent menggeram disambut senyum sinis Felles dan hantaman dari kaki kirinya. Darah segar keluar dari mulut Vincent. Tendangan itu membuattubuhnya terseret gravitasi dan menghujam atap katedral.

“Hahahaha…! Manusia sepertimu ingin melawanku?” Felles tertawa penuh penghinaan sambil mengibaskan pedang hitamnya ke arah Vincent. Sebuah gelombang tenaga yang keluar dari tebasan pedang itu menghantam tempat Vincent jatuh. Dalam sekejap atap Katedral hancur berantakan. Vincent berlari menyusuri tepian atap Katedral. Kibasan-kibasan Astaroth semakin menjadi-jadi. Katedral itu porak poranda dan tak berbentuk lagi. Vincent harus membaur dengan pasukannya yang tengah mati-matian dengan tentara iblis.

“Apa kau ingin jadi pecundang, Vincent? Bersembunyi diantara tumpukan mayat pasukanmu sendiri?” teriak Felles. Siluet tubuhnya melayang menutupi sinar purnama merah. Dia mengarahkan Astaroth ke arah medan pertempuran itu. Sebuah bola energi hitam besar mengumpul di ujung pedang. Sepersekian detik kemudian, bola itu menghempas ke arah kerumunan prajurit yang sedang bertarung. Ke tempat dimana Vincent sedang mengambil nafas untuk kembali menyerang.

Sebuah ledakan yang sangat besar mengubah warna langit di atas Demone Agguato menjadi semerah darah. Tanah di bawah Felles membara menjadi lautan api. Tidak ada yang tersisa dari ledakan itu selain tumpukan mayat dan kobaran api yang tak berhenti. Felles tertawa riang saat sebuah benda yang sangat dia kenal baik mencuat dari sela-sela reruntuhan katedral.

Satana Artefatti.

***

Catedral Saint Benedict, Holy City of Mystia, Lutheria Empire

“Father Bernini…”

“Father Salomus!”

Salomus duduk di samping pria itu. Bernini menutup Alkitabnya.

“Pasukan Florence gagal.Count Felles sudah mendapatkan kuncinya. Tak perlu waktu lama untuk kebangkitan Figlio del Diavolo, Lucifer.”

Bernini tepekur. Dipegangnya jidat yang sudah dipenuhi keriput dan uban.

“Apa Vincent selamat?”

“Tidak. Beliau meninggal dunia dalam pertempuran.”

Bernini menghela nafas panjang. Disandarkan tubuh tuanya ke bangku.

“Sesuai yang kita harapkan, bukan? Father Salomus?” ucapnya. Matanya melirik sinis ke arah Salomus dengan seringai tawa yang tersembunyi. Salomus paham maksudnya. Tapi Bernini bisa melihat keraguan di hati saudaranya.

“Sudah lima puluh tahun sejak Kaisar Fallon de Frederick memimpin Kekaisaran, dia memisahkan wewenang keuskupan dengan negara. Aturan ini terus berlaku hingga penerusnya Cordelia”, Bernini berdiri. Dia melangkah perlahan menuju altar diikuti Salomus.

“Akibatnya, Ortodhox tidak lagi memiliki kekuatan mengatur negara. Lutheria terancam menjadi kekaisaran kafir yang sudah melupakan Perintah Surga. Tapi kini, kita bisa mengembalikan semua wewenang Keuskupan dengan mempengaruhi kaisar wanita lemah itu. Tentu saja apabila Vincent de Florence disingkirkan terlebih dahulu!”

“Tapi… kehancuran Ordo Florence membuat kita kehilangan salah satu pasukan terbaik kita menghadapi Demone Esercito. Lagipula, Vincent adalah yang terbaik dan Felles sudah memegang kuncinya.”

“Jangan kuatir!” tukas Bernini tersenyum. Sebuah derap langkah kaki dari arah belakang mereka mengejutkan Salomus. Seorang pria berambut putih panjang dengan baju besi perak berdiri tegak di pintu masuk. Wajahnya yang putih pucat dengan mata merah darah menyeringai seram kepada Salomus dan Bernini.

“Perkenalkan, Ksatria Faust de Rossea! Dia yang akan menggantikan posisi Vincent. Dia punya cara untuk merebut kembali kunci dan mewujudkan cita-cita Keuskupan kita!”

Ksatria itu mengangguk hormat. Salomus masih memandangnya ragu.

***

Dunia tak berujud. Hanya ada kegelapan hitam pekat mengisi kekosongan yang seakan tak bertepi. Itu yang Vincent rasakan pertama kali saat dia siuman. Dia mendapati tubuhnya terpancang di sebuah besi dingin berbentuk salib. Masing-masing lengan dan kakinya terikat oleh kawat berduri yang sangat menyakitkan. Vincent mendapati salib itu dipancang terbalik. Sebuah rantai besi besar yang tidak diketahui asalnya menancap di kaki salib dan menahan benda itu untuk tetap tergantung. Tiga buah rantai yang lebih kecil, melingkar di sepanjang leher Vincent dan menahan pundaknya agar tidak lepas dari dekapan erat salib di belakangnya. Tubuhnya penuh memar dan luka. Vincent merintih kesakitan.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki. Sosok berjas hitam dengan rambut cepak rapi muncul dari balik kegelapan. Wajahnya begitu pucat dengan seringai keji yang mengingatkan Vincent kepada Felles. Dia melangkah pelan mendekati Vincent dengan kakinya yang seakan menjejak udara kosong. Dalam jarak satu meter, Vincent bisa mengenal dengan sangat jelas pria di depannya.

“Pangeran Beelzebub…”

“Vincent de Florence”, jawabnya. Sorot merah matanya tidak berpaling sedetikpun dari wajah Vincent.

“Ksatria Surga dan pelindung terkuat Kekaisaran Suci Lutheria… telah jatuh! Jiwanya terkurung dalam dunia kegelapan milik musuhnya sendiri. Disandera dan dihinakan dalam salib terbalik, tersiksa hingga Hari Pengadilan!”

Vincent tidak menyahut.

“Dan sekarang ayahku telah mendapatkan apa yang sangat dia ingin-inginkan. Tinggal menunggu waktu sampai pasukan iblis menemukan peristirahatan Lucifer dan membukakan jalan bagi mereka ke Surga. Mungkin seminggu paling lama.”

Vincent menatap wajahnya. “Apa maumu?”

“Aku ingin mengajukan penawaran kepadamu, Ksatria!”

“Aku tidak sudi bernegoisasi dengan Iblis!”

“Kau takkan menolaknya. Aku menawarkan kekuatan kegelapan yang tak terbatas padamu, Tuan Vincent. Untuk membalaskan kekalahanmu pada ayahku!”

Vincent mengernyitkan dahi.

“Ayahku, Memphisto Felles, sudah terlalu tua untuk memimpin Kerajaan Kegelapan ini. Kini waktunya aku menggantikan posisinya. Dan kau tahu? aku tak ingin terlihat memberontak di depannya. Karenanya aku disini ingin membuat perjanjian denganmu. Aku akan membebaskanmu dan memberimu kekuatan yang tak ada tandingannya. Sebagai imbalannya, kau akan mengalahkan ayahku dan mengurungnya disini seperti yang dia lakukan saat ini padamu, bagaimana Vincent?”

“Dan aku menjadi budak kegelapanmu untuk selamanya?”

Beelzebub tertawa menyeringai. “Aku tidak seperti ayahku, Vin. Aku tidak ingin mengikat perjanjian konyol yang mengharuskanmu menjadi budakku selamanya. Bagaimana?”

“Aku menolak”, ucap Vincent sambil memalingkan wajahnya. “Aku hanya akan mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan dan Kerajaan Surga!”

Beelzebub membalas ucapan Vincent dengan tatapan yang sangat mengerikan. Seringai tawanya berubah menjadi begitu sinis dan keji. Dihampirinya pria itu dan dipegangnya erat-erat wajahnya. Vincent berusaha tegar ketika kedua tangan putra iblis di depannya seakan hendak meremasnya.

“Kau kira aku tidak tahu kalau sikapmu itu begitu munafik, Tuan Vincent?!” ucapnya pelan. “Bukan nama Tuhan yang ada dalam hati terdalammu, bukan Kerajaan Surga, dan juga bukan Lutheria atau Orthodox!” Beelzebub menatapnya sambil mendelik seakan bola mata berwarna merah itu hendak keluar dari tempatnya. “Tapi… Cordelia de Celestyn, bukan?”

Beelzebub merasakan tatapan mata pria di depannya berubah. Seringainya menandakan bahwa ucapannya benar. Vincent tidak berkata apa-apa.

“Kekaisaran akan jatuh dan gadis kecilmu akan mati dalam usia sembilan belas tahun sementara kau hanya merintih dan berdoa sia-sia disini”, tukas Beelzebub sambil melepaskan dekapan tangannya.

“Kalau kau berubah pikiran, panggil aku!”

Dia melangkah menjauh. Vincent memperhatikan tubuh itu mulai terbalut kegelapan. Dia memejamkan mata. Berpikir keras. Ucapan Beelzebub tidak salah. Mungkin benar, selama ini hanya keselamatan Cordelia yang ada dalam pikirannya.

“Pangeran, tunggu!”

Mata merah itu bersinar dalam kegelapan. Vincent mendengar tawanya yang mendesis.

“Berikan aku kekuatan itu. Akan kuantar kepala Memphisto Felles ke tempat ini!”

“Aku gembira kau menerima tawaranku, Vincent de Florence!” ujarnya senang. Tawanya yang membahana seakan hendak membelah kelamnya Dunia Kegelapan.

Baca selengkapnya......

Rabu, 09 Maret 2011

Modern Warfare

“Kita adalah pemilik kekuatan perang terbesar sepanjang sejarah manusia. Setiap perang adalah perang kita. Karena apa yang terjadi disini akan berdampak di tempat lain, tidak ada alasan untuk tidak peduli. Belajar menggunakan perangkat perang modern adalah perbedaan antara menyejahterakan hidup masyarakat atau kehancuran total. Kami tak dapat memberimu kebebasan, tapi kami tahu bagaimana cara mendapatkannya. Dan hal itu temanku, lebih bernilai daripada satu battalion tempur. Bukan masalah siapa yang memegang palu kendali karena yang utama adalah siapa yang mengayunkannya. Ini adalah waktu bagi para pahlawan. Inilah waktu mencetak legenda. Sejarah ditulis oleh para pemenang. Jadi mari kita bekerja!”



Peter Brovnski, presiden Republik Ayjurzistan
Istana Presiden, Petrobolavsk, Republik Ayjurzistan
07.30 AM, 15 September 2011

“Lewat sini, Pak Presiden”

“Bagaimana dengan Eva dan Maya?”

“Pasukan khusus sudah menjemput mereka di villa. Jangan kuatirkan mereka. Keselamatan Anda adalah prioritas utama kami!”

Chris, salah satu pengawalku merengkuh tanganku keras dan memaksaku melangkah lebih cepat. Keselamatan presiden di atas segala-galanya. Aku bahkan tidak sempat lagi memikirkan keselamatan anak dan istriku. Suasana istana kepresidenan sudah tidak kondusif. Chris dan beberapa pengawal lain mendesakku untuk segera memasuki limousin. Iring-iringan panser M1126 Stryker ICV dan beberapa jip M1114 Humvee tengah bersiaga mengawal limosin yang kunaiki. Kulihat banyak pasukan pengaman presiden atau paspampres dengan masker gasnya, dalam jumlah tidak biasa,sedang berjaga-jaga disana. Tak kuduga situasi bisa seburuk itu.

“Anggota kabinet yang lain?”

Chris mengangguk, mencoba meyakinkanku bahwa semua orang kami sudah diamankan. Aku setengah ragu saat masuk ke dalam limosin. Setelah Chris dan dua orang pengawal mengikutiku masuk, seorang paspampres mengacungkan jempol ke sopir kami. Tak lama, Stryker di depan kami mulai bergerak maju keluar melalui pintu gerbang istana presiden. Beberapa paspampres mengawasi iring-iringan kendaraan yang keluar sebelum akhirnya limo yang kunaiki ikut melaju perlahan.

Di dalam limo kulihat wajah Chris yang masih tampak tegang. Tangannya masih menggenggam pistol M9 sambil terus menoleh keluar jendela. Dua orang yang duduk di depanku juga melakukan hal yang sama. Kendaraan kami terus melaju melalui Statvblav Plaza dengan kecepatan yang cukup laju. Saat kutanyakan kepada Chris kemana kami akan pergi, pria itu menjawab lugas, “Kita menuju bandara Stevbovalska, Pak,disana helikopter NATO akan membawa Anda sekeluarga ke Jerman sampai keadaan gawat ini mereda.”

“Aku tak menduga situasi akan segawat ini. Tadi malam Menteri pertahanan bilang suasana sudah bisa dikendalikan. Sekarang bahkan aku sendiripun harus diungsikan keluar…?”

Chris yang duduk di sebelahku tersenyum miris.“Tentara OSNAR sudah menduduki separuh ibukota. Saat ini Jenderal Ahmed Rayvk sedang berpidato di televisi bahwa mereka telah melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Anda. Saat kita keluar tadi, kami mendapat informasi bahwa resimen lapis baja 324 OSNAR sedang bergerak menuju Istana.”

Aku mengelus jidatku. Menatap keluar limosinku. Paspampres sudah membuat barikade di sepanjang jalur yang kami lalui. Kulihat pula beberapa Stryker tengah bersiaga diikuti MBT (Main Battle Tank) M-1 Abrams yang berseliweran di jalanan Statvblav Plasa ini. Aku sendiri disibukkan oleh pikiranku. Perasaan tak percaya, jenderal terbaikku, sudah mengkhianati kekuasaanku. Dia, dengan membawa OSNAR, telah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang kupegang. Aku memang yakin suatu saat OSNAR akan bertindak melawan kami, tapi yang paling tidak dapat kuduga, jenderal terbaikku ada di belakang ini semua.

Setelah melalui Statvblav Plasa, iring-iringan memasuki kompleks pasar rakyat di Salkut Blvd. Aku bertanya kepada Chris kenapa kita tidak melewati jalur cepat seperti biasanya. Chris menggeleng tidak setuju. Intel melaporkan banyak tentara OSNAR bersiaga disana. Aku hanya mengangguk. Kendaraan kami terus berjalan menelusuri jalanan pasar yang kecil dan penuh sesak oleh kedai dan barang dagangan kaki lima. Hari itu semua pasar tutup. Warga ketakutan dan lebih memilih sembunyi dalam rumah mereka masing-masing. Setelah melalui tempat ini, kami akan bertemu jalan layang yang akan membawa kami menuju ke bandara.

Belum lima menit berjalan, aku melihat orang-orang sipil berlarian di atas atap bangunan ruko-ruko pasar. Perasaanku mendadak menjadi sangat tidak nyaman. Chris menunjuk dua pengawal rekannya sambil berteriak sesuatu di handie talkie. Aku yang tidak paham dengan istilah militer terus mengamati kerumunan orang-orang itu. Beberapa dari mereka melihat ke arah konvoi kami sambil berteriak-teriak satu sama lain. Seorang pria mengambil sesuatu dari bawah, yang saat kupicingkan mata, ternyata itu sebuah peluncur roket.

“RPG! Ada yang membawa RPG arah jam dua!” teriak Chris. Dua pengawalku yang tadi duduk di depanku langsung memaksaku menunduk. Terdengar ribut-ribut di belakang dan beberapa paspampres yang mulai melepaskan tembakan ke arah warga sipil. Tapi pria yang membawa pelontar roket itu tetap menembakkan senjatanya. Dalam sekejap kulihat roket meluncur laju ke arah iring-iringan kami. Benda itu tepat menghantam Stryker yang berada tepat di depan limosinku. Panser itu hancur berantakan. Kami semua di dalam limosin terkejut. Chris melarangku melihat keluar. Dia menyuruhku, dengan sedikit memaksa, untuk kembali menunduk. Suara tembakan kembali saling menyalak dari masing-masing pihak. Warga sipil yang kulihat tadi tampaknya ikut pula menembaki kami. Chris mengatakan bahwa mereka pengikut OSNAR dan aku tidak terkejut. Aku sadar kami telah dikepung.

Tembakan semakin gencar diiringi suara teriakan dan jeritan. Kembali seseorang berteriak tentang roket dan RPG. Sekali lagi sebuah roket mendesing ke arah kumpulan humvee yang mengawal kami di belakang. Tak pelak, humvee itu meledak dan berhamburan ke segala arah. Situasi semakin genting. Suara tembakan dan letusan peluru semakin tidak terkendali.

“Jack…”, teriak Chris pada supirku, “Bawa limo ini menjauh!”

“Tidak bisa pak! Kendaraan kita terkunci. Stryker dan humvee menghalangi!”

“Sial!” Chris memandangku, “Pak Presiden, kita harus keluar dari mobil! Tolong jangan jauh-jauh dari saya. Pakai rompi anti peluru ini! Kita akan segera pergi!”

Aku mengangguk. Kupakai rompi yang disodorkan oleh Chris. Pria itu sendiri tengah sibuk mempersiapkan uzi. Saat Chris hendak memberi kami aba-aba untuk keluar, seketika terdengar suara rentetan senjata api menghantam kaca limo. Dua pengawalku yang tidak sempat menghindar langsung meregang nyawa. Peluru menembus kepala mereka. Chris langsung membalas tembakan dengan uzi serta menarik lenganku keluar. Kami berdua berlindung di balik limo sementara peluru menghujani kami. Chris terus saja melepas tembakan sembari melihat peluang untuk lari. Beberapa paspampres mendatangi kami seraya memberikan bantuan tembakan.

“Lindungi kami, aku akan membawa Presiden ke tempat aman!”

Mereka mengangguk. Chris menggamit tanganku. Sambil terus melepaskan tembakan dia membawaku lari menyusuri bangkai humvee dan gelimpangan mayat pasukan kami. Tembakan serasa datang dari berbagai arah. Aku melihat ada lorong.

“Anda lihat lorong itu? Kita akan lari kesana! Dalam hitungan ketiga…”

Aku mengangguk.

“TIGA!”

Chris melepaskan tembakan uzi. Dia berteriak memaksaku lari lebih dulu. Aku segera lari dengan kepala menunduk menuju lorong. Sebuah desingan roket tiba-tiba terdengar diantara riuh rendah laju peluru. Aku merasakan tubuhku melayang. Roket itu meledak di belakangku. Di tempat dimana Chris tadi memaksaku berlari.

Mataku serasa berkunang-kunang. Aspal panas serasa menyengat tubuhku yang jatuh terbaring. Dengan sedikit tenaga yang tersisa aku berusaha menegakkan diri. Terdengar suara derap kaki terdengar mendekatiku. Seorang pria kaukasian berambut merah dengan tampang yang masih muda berdiri di depanku. Kulihat dia dan beberapa kawannya yang lain menggunakan selempang kepala berlambang dua pistol bersilang, lambang OSNAR. Beberapa kawannya langsung melepaskan pukulan ke arahku. Aku mengerang keras dan berguling-guling kesakitan saat sepatu boot mereka menendang-nendang tubuhku. Tapi tak lama pria itu menghentikan tindakan temannya.

“Dostatochno! Rayvk hochet yego zhivym!”

Sambil menggamit lenganku, sementara tangannya yang lain memegang AK-47, dia membawaku menjauh dari medan perang berdarah itu. Tembakan sudah tidak lagi terdengar. Tampaknya baku tembak sudah usai. Aku masih sempat melihat beberapa gerilyawan OSNAR menembaki tentaraku yang sudah tak berdaya dan menyerah. Hatiku miris. Pria itu membawaku ke sebuah mobil yang tampaknya cukup lama menunggu kami.

”Horosho! Vy poluchite etot chelovek!”

“Dovesti etot chelovek Rayvk!”

”Da!”

Pria muda itu lalu menghempaskanku ke kursi belakang dan mengikat tanganku agar tidak kabur. Aku mengerang kesakitan karena siksaan tadi. Pria itu lalu mengikuti temannya duduk di kursi depan. Kendaraan pun mulai melaju perlahan. Ketika itu pula si pria yang membawaku tadi memandang ke arahku. Dia tersenyum sinis, entah apa maksudnya. Setelah itu dihidupkannya radio mobil.

“Anda dengar ini, Bapak Presiden! Pemimpin kami sudah mengambil pemerintahan Anda!”

Dia lalu mencari sebuah saluran. Sayup-sayup kudengar suara pria yang tak asing lagi bagiku berbicara dari sana.

“Rakyat Ayjurzistan…!

Ahmed Ravyk! Dia rupanya sudah berpidato dari radio itu. Anak muda ini benar. OSNAR sudah mengkudeta pemerintahan kami. Pria itu lalu mengencangkan suara pidato itu agar aku bisa mendengarnya.

”Hari ini, kita bangkit kembali sebagai suatu bangsa, untuk melawan pengkhianatan dan korupsi!”

Aku menghela nafas panjang. Pasrah sudah aku dengan keadaan yang kini kualami. Pemerintahan yang kupegang sudah jatuh. Anak dan istriku pun tak sempat lagi kuketahui kondisinya. Kuharap mereka bisa mencapai bandara dan pergi sejauh mungkin dari sini. Kusandarkan tubuhku di kursi mobil sementara suara Rayvk terus berkumandang mungkin hampir di seantero negeri ini.

Kita semua mempercayai pria ini untuk membawa bangsa besar kita memasuki era kemakmuran baru…!Tapi sama seperti masa monarki sebelum revolusi, dia telah berkolusi dengan Barat demi kepentingannya sendiri!”

Kendaraan yang kunaiki semakin laju seiring dengan suara Rayvk yang semakin berkumandang dimana-mana. Beberapa reruntuhan barikade yang dipasang pasukanku telah aku lalui. Aku bisa melihat pasukan OSNAR menyeret mayat-mayat pasukanku diantara bangkai-bangkai kendaraan berat yang bertebaran di sepanjang jalan ini.

“Kolusi melahirkan perbudakan! Dan kita tak akan rela diperbudak! Waktunya telah tiba bagi kita untuk menunjukkan kekuatan sejati kita. Mereka yang telah meremehkan tekad kita, tunjukkan bahwa kita tidak takut kepada mereka!”

Mobil terus melaju. Kini memasuki Smyrrna Blvd. Pasukan OSNAR membariskan penduduk sipil, yang menurutku adalah para pendukungku, menghadap tembok. Sebelum mobil membelok, kulihat mereka dibantai habis-habisan. Di sudut lain beberapa pasukan OSNAR keluar dari beberapa panser. Tampaknya mereka hendak membersihkan wilayah ini dari pihak pro-pemerintah.

“Sebagai satu kekuatan, mari kita bebaskan nafas kita dari penindasan Barat! Tentara kita sangat kuat, dan tekad kita telah membaja! Saat aku berbicara, tentara kita hampir menuntaskan misi mereka. Misi dimana kita akan mengembalikan kemerdekaan bangsa kita. Bangsa yang besar!”

Mobil yang kutumpangi berbelok lagi hingga tiba di sebuah gedung penjara yang dipenuhi kendaraan tempur, yang dilihat dari tipenya, adalah milik OSNAR. Kebanyakan mereka menggunakan barang buatan Rusia alih-alih kami yang lebih memilih buatan NATO. Disana para tentara saling memekik satu sama lain sambil melepaskan tembakan salvo ke udara, suatu bentuk ungkapan kegembiraan yang cukup liar menurutku. Seorang tentara membuka pintu dan menyeretku keluar. Disana aku dipukul sekali lagi sampai pria yang bersamaku tadi mencegah mereka untuk tidak bertindak brutal lebih lanjut.

“Perang suci kita sedang dimulai! Seperti penghinaan mereka kepada kita, kita juga akan melakukan hal yang sama!”

Mataku masih berkunang-kunang saat mereka menyeretku menuju suatu lapangan di dalam gedung. Aku melihat tiang kayu terpancang berdiri di tengah. Seorang pria paruh baya dengan menggunakan seragam militer lengkap dengan semua atributnya mendekatiku. Matanya yang tajam diantara wajah yang dihiasi luka melintang di pipi, bekas peperangan masa lalu, menatapku dalam-dalam. Dia menyeringai lebar,seringai penghinaan.

“Rayvk…”, bisikku pelan diantara rasa sakit. Pria bernama Ahmed Rayvk itu lalu pergi menjauh setelah menyuruh pria yang membawaku mengikatku di tiang kayu. Kulihat Rayvk berjalan ke seorang pria seumuran dengannya. Pria itu menyerahkan sebuah pistol.

“Bapak Presiden, ini Desert Eagle…” bisik Rayvk sambil menunjukkan pistol berwarna perak itu ke hadapanku, “…tujuh biji peluru kaliber .50 Action Express, berat 1,8 kilogram, berat proyektil 19,4 gram, kecepatan tembak 1.380 kaki per detik, dan energi lontar sebesar 1.650 Joule. Benda ini buatan sekutu Anda, Israel”, gumamnya lagi sambil mencibir. Setelah itu dia berteriak ke arah operator kamera untuk memfokuskan pengambilan gambar ke arahnya. Sekali lagi dia memandangku.

“Dan sekarang bagaimana ini semua dimulai!”

Rayvk mengarahkan moncong senjatanya ke arah kepalaku. Dia menyeringai lebar. Seringai yang sangat tidak menyenangkan.

“Demi revolusi…!”

Terdengar suara dentuman keras. Suara yang terakhir kali dirasakan semua panca inderaku.

***
Keterangan:
“Dostatochno! Rayvk hochet yego zhivym!” : “Cukup! Rayvk menginginkannya hidup-hidup!”
”Horosho! Vy poluchite etot chelovek!” : “Bagus! Kau mendapatkan pria ini!”
“Dovesti etot chelovek Rayvk!” : “Bawa dia ke Rayvk!”
”Da!” : “Ya!”

Baca selengkapnya......

Senin, 07 Maret 2011

NOVA - act. 2 : Plan

Act 2 : Plan

Alcyon Verrel
Royal Centurion High Palace
Planet Leria, System Mystian
17:30 waktu setempat

Ruangan ini ditata begitu klasik, setidaknya itulah yang tergambar di benakku. Penataannya mirip seperti gambar-gambar di buku tua koleksi kakek buyut. Buku itu menyebutkan tatanan ruang seperti ini adalah tatanan ruang bergaya Victoria. Penuh lukisan kanvas, kursi-kursi kayu Illitus, perapian dengan beberapa pernak-pernik tembikar tersusun indah di atasnya, karpet-karpet bergambar ukiran daun ulhya di sekitarnya dan sebuah gambar Grevier, hewan terkuat di sistem ini. Lalu dengan Victoria? Siapa Victoria itu? Entahlah, mungkin orang terkenal di zaman kakeknya kakeknya kakek buyutku.

Aku tidak heran Putri Auria bisa mendesain ruangan pribadinya menjadi seperti ini, desain budaya manusia kuno. Sama halnya denganku, keluarga kami adalah salah satu dari Ancient Families atau keluarga kuno pendiri koloni di luar angkasa. Dan tentu saja, sebagai salah satu pewaris, dia pasti mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal ini secara turun temurun dan menjaga budayanya, sebagaimana umumnya para pewaris yang lain. Namun tidak bagiku. Aku kebanyakan melupakannya kecuali buku-buku kakek buyutku yang tetap kupertahankan agar bisa tetap kubaca.



Meskipun terbuat dari bahan kayu, kursi ini begitu nyaman untuk diduduki. Dan gadis muda yang duduk di depanku begitu menawan sehingga membuatku betah berada disini. Putri Auria Emprion, begitu rakyatnya menyebutnya, adalah pemimpin kerajaan Mystian sejak Ragnarok hingga sekarang. Ayahnya meninggal karena memikirkan wilayah kerajaan mereka yang semakin menyusut akibat Ragnarok. Tiga ratus system hancur dan lima ratus lainnya terbengkalai alias tidak bisa dihuni. Mystian yang awalnya membawahi tiga galaksi dan seribu lima ratus sistem tata surya kini menyusut hampir separuhnya. Tak heran bila Yang Mulia Bahtur Emprion terkena serangan jantung dan meninggal karena ini.

Tapi Auria seorang jenius. Dia tahu apa yang harus dia lakukan sepeninggal ayahnya. Dia punya pemikiran sendiri dalam mengatur kerajaannya pasca Ragnarok. Dan dia berhasil mewujudkannya, dalam usianya yang waktu itu baru tujuh belas tahun. Mystian yang hancur gara-gara Ragnarok ditatanya lagi hingga mampu menjadi negara kuat bagian dari Persemakmuran yang patut diperhitungkan. Menurutku Auria adalah seorang visioner. Dan visinya akan dunia utopisnya, tampaknya tidak akan berakhir pada kemajuan kerajaannya saja.

“Aku melihat kau terus-menerus terdesak, kak Cy!”

Gadis itu melihatku sambil tersenyum. Cukup manis sampai mengganggu lamunanku. Meski sering bertemu, tapi canggung juga melihatnya tersenyum seperti itu. Apalagi ditambah tatapannya yang begitu menggoda. Mata hijau zamrudnya yang sebagian ditutupi rambut pirang bergelombang, yang kadang dia sibakkan dengan gaya yang begitu anggun.

“Atau karena terlalu terpukau dengan kecantikanku?” tukasnya sambil tersenyum lagi. Kali ini dengan gaya sedikit nakal. Aku mengalihkan pandanganku ke bidak-bidak di depan kami agar bisa kembali fokus ke permainan. Dia memang pandai menggoda. Itulah salah satu penyebab mengapa aku jarang bisa menang kalau tengah beradu catur dengannya. Dia licik dan juga pandai.

Setiap kali aku mengadakan kunjungan ‘rahasia’ ke Mystian, kusebut rahasia karena tentu saja rakyat Mystian tidak boleh tahu ratu mereka bekerja sama dengan bajingan, seperti saat ini Auria selalu mengajakku bertanding catur. Auria keranjingan dengan catur. Meski aku juga tidak bisa dibilang pemula dalam permainan ini, tapi Auria selalu selangkah ke depan. Entah bagaimana permainan kuno warisan budaya Ancient Families itu bisa berurat berakar dalam dirinya, mungkin ini salah satu budaya yang tetap dipertahankan oleh keluarga Emprion dari masa ke masa. Tak heran karena keluarga ini memang dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Sesuatu yang bisa kulihat dari diri gadis di depanku.

“Kupikir... antara kecantikan Anda dan kecerdikan Anda, dua hal itu berhasil memojokkanku”, tukasku tersenyum. Gadis itu membalas senyumku sambil menggerakkan salah satu pion. Posisi yang tak pernah kuperkirakan. Dia semakin mendesakku.

“Kalau kau tak segera mengamankan ratu... Entah apa jadinya. Kau membuka lubang di tempat yang salah, Kapten”, tukasnya lagi sambil tertawa terkikik. Aku hanya tersenyum pahit melihat dia memakan kudaku.

Tapi tak lama kemudian dia menatapku.

“Kau tampaknya sedang tidak ingin melanjutkan permainan ini. Ada yang mengganggu pikiranmu, Kak?”

“Oh... tentu saja tidak, Yang Mulia. Saya hanya... sedikit ceroboh saja”, tukasku membela diri. Sebenarnya pikiran tentang kondisi Sarah dan invasi Zakhon cukup mengganggu pikiranku.

“Tak usah membohongiku, Kak Cyon! Aku tahu, meskipun kau selalu tersenyum, tapi di dalam otakmu itu kau tengah memikirkan sesuatu!” balasnya sambil menatapku tajam. Memang tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari gadis satu ini. Meskipun dia tidak memiliki kemampuan membaca pikiran orang, tapi dia bisa menduga kalau aku sedang memikirkan sesuatu.

“Ayolah kak, jangan bohong! Pola dan tempo permainanmu tidak seperti biasanya. Sungguh menyebalkan!” timpalnya ketus. Auria mulai menunjukkan wajah judesnya. Dasar remaja !

“Baiklah, sebenarnya... Anda tahu berita tentang penyerangan di Celesta?”

“Ya! UNN menerangkan sepanjang hari. Uninet menampilkan foto dirimu besar-besar bertuliskan ‘Alcyon Verrel, dalang di balik pembantaian di Hosperian’!”

Aku tersenyum sinis. “Aku sudah kenyang dengan berita-berita di televisi yang selalu mengkambinghitamkan kami. Bukan itu yang kupermasalahkan. Yang jadi masalah adalah, mereka yang menyerang Celesta adalah Zakhon”, balasku.

“Aku tahu kakakku yang tampan”, tukas Auria genit. Kerlingannya yang menggoda membuatku harus mengalihkan tatapanku ke perapian. “Memangnya dalam perjalananmu kemari kau tidak melihat berita? Mereka bilang, Alcyon Verrel membimbing Kaum Zakhon yang haus akan balas dendam menuju Celesta. Kita semua tahu, Kaum Zakhon yang tersisa sudah terusir ke System Diabolus yang sekarat karena lubang hitam. Tapi pemberontak keji kita, Alcyon Verrel, berhasil membimbing mereka kembali ke Lingkar Luar, dan menjadi ancaman baru bagi Persemakmuran sejak Ragnarok terjadi!”

“Sungguh berita yang menyebalkan”, jawabku getir. Gadis itu memandangku lembut dan kemudian tersenyum, “Tapi ada berita bagusnya loh!”

“Apa itu?”

“Dirimu sekarang dihargai sepuluh juta Credits!”

“Oh, sungguh menyenangkan!” balasku lagi, kembali ke mimik getir. Sang putri malah tertawa tergelak.

“Ehm, Yang Mulia!” aku mulai menatapnya serius, “Tolong pikirkan baik-baik. Zakhon sudah berada di wilayah Gaian. Kemungkinan mereka sudah menduduki Sistem Celesta sepenuhnya. Dan kemungkinan mereka juga akan menyerang wilayah lain. Bukankah ini perkara serius?”

Auria menyandarkan tubuhnya. Matanya memandang bulan Mystian yang besar cemerlang di atas langit biru. Wajahnya mulai menyiratkan keseriusan.

“Kau benar. Ini memang serius. Zakhon adalah ancaman untuk Ragnarok kedua. Bila mereka terus bergerak melawan Galatia, tak bisa dipungkiri, itu yang akan terjadi” tukasnya padaku.

“Benar!” aku mengangguk. “Setidaknya kita harus melakukan sesuatu, Yang Mulia?”

“Sayangnya tidak, Kapten”, ujarnya lemah. “Kau tahu sendiri kan, semua kekuatan Mystian dikendalikan sepenuhnya oleh Persemakmuran. Kita tak bisa berbuat apa-apa sampai Para Dewan Koalisi Sembilan Negara memutuskan sesuatu. Dan itu berarti kita menunggu keputusan dari Kanselir Xalczak sebelum bisa sepenuhnya bertindak.”

“Dan Xalczak pasti tak akan berbuat apa-apa. Baginya kehilangan satu atau dua sistem saja di Lingkar Luar tak akan mempengaruhi kepemimpinannya. Suatu contoh tiran yang kejam”, desisku pelan, “Waktu invasi Zakhon di Celesta-pun, Galatia tidak segera memberi pertolongan kepada orang-orang di Lingkar Luar. Bagi Xalczak, Lingkar Luar hanyalah wilayah tak berguna yang rendah sumber daya dan tidak memiliki potensi apapun untuk dimanfaatkan. Mereka hanyalah sebuah tameng untuk melindungi Lingkar Dalam Persemakmuran dan syarat bagi Galatia untuk mempertahankan keluasan wilayahnya”, lanjutku. Gadis itu tersenyum kecil.

“Ditambah lagi, Lingkar Luar bukanlah salah satu dari wilayah Koalisi Sembilan Negara, jadi tidak ada satupun dari kita yang berani memprotes tindakan pilih kasih Xalczak. Kasihan mereka. Koloni-koloni kecil yang tertindas, tidak punya kekuatan untuk melawan, tapi juga tak punya kekuatan untuk melepaskan diri”, tukas Sang Putri.

“Aku berharap banyak padamu, Kapten! Lakukanlah sebaik mungkin yang kau bisa untuk menghalangi Zakhon menyerang wilayah Lingkar Luar yang lain. Tingkatkan pengawasanmu! Untuk sementara, pakai dana yang kusumbangkan untuk melindungi koloni-koloni disana.”

Aku mengangguk. Gadis itu membalas dengan senyuman manis.

“Sebenarnya, dari tadi Anda ingin bertemu saya, apa ada yang ingin Anda sampaikan Yang Mulia?”

Mimik mukanya berubah. Dia kini mulai memandangku dengan tatapan genit. “Aku merindukan ksatria kuda putihku”, tukasnya, “Sedih rasanya bermain catur sendirian tanpa ada pria tampan sebagai lawannya. Hatiku menjadi sepi.”

Aku hanya tersenyum. Setelah pembicaraan yang cukup serius, masih sempat saja gadis satu ini bergurau. Gadis itu membalas senyumku dengan tawa terkikik.

“Ih, wajah Kakak serius amat sih!”

Aku tak tahu harus berkata apa.

“Ada informasi. Kemungkinan ini bisa menjawab tanda tanya besar diantara kita tentang bagaimana makhluk seperti kaum Zakhon bisa menemukan jalan kembali ke wilayah Gaian.”

“Ya?”

Auria berdiri dari kursi kayu dan bergerak menuju sebuah meja kecil dimana disitu terdapat patung marmer wanita bersayap. Auria memutar patung itu. Ada sebuah tampilan hologram tiga dimensi hadir di depan kami berdua. Sebuah gambaran peta wilayah Lingkar Dalam dan Lingkar Luar Galatia. Dia lalu menunjuk suatu tempat disana.

“Intel kami mendapat informasi di sistem ini, rombongan kapal ekspedisi tengah kembali menuju Galatia sambil membawa sesuatu yang sangat menarik bagi Xalczak. Mereka mengatakan, ‘bagian terakhir yang sangat dinanti Kanselir’!”

Aku memicingkan mata, “Apa itu?”

Gadis itu mengangkat bahunya, “Intel menginformasikan mereka membawa paket itu dari Intarus, planet terluar Sistem Diabolus. Kupikir, Zakhon menemukan jalan kembali kemari karena mereka.”

Aku mengangguk. “Mungkin saja. Tapi yang membuatku penasaran, benda yang dibawa tim ekspedisi itu.”

“Sama, aku juga! Apa kau tak ingin mengunjungi mereka?”

Aku tersenyum. “Akan kupastikan mengunjungi mereka sebelum mereka tiba di Galatia.”

Gadis itu mengangguk. Dia mematikan hologram dan mendekati meja catur kami. “Kita cukupkan pembicaraan kita dulu. Kakak tahu kan kita tak bisa bertemu terlalu lama? Aku berharap kita bisa menyelesaikan permainan ini di pertemuan kita selanjutnya.”

Kubalas ucapannya dengan anggukan. Kami saling tersenyum dan berdiri.

“Kalau begitu saya pamit dulu, Yang Mulia. Sungguh menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama Anda”

Dia mengangguk. Kucium tangannya sebagai tanda hormat. Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar.

“Engh…, tipe gadis seperti apa yang disukai Kakak?”

Aku menghentikan langkahku. Kubalikkan wajahku dan menatap matanya. Tubuhnya membentuk siluet indah dari pendaran cahaya di jendela belakang dirinya. Gadis yang begitu sempurna.

“Saya... mungkin, seorang yang sederhana...”

“Apa aku termasuk?” tanyanya centil. Aku hanya bisa membalas dengan senyum. Kubuka pintu, gadis itu melambaikan sebelah tangannya. “Semoga berhasil, Kapten”, gumamnya.

***

Sarah Fleuret
Pesawat Induk Utama Juggernaut, Armada Red Raccon
System Diomedes
18:30 waktu pesawat

Aku melihat pemandangan sebuah neraka. Kebinasaan menyelimuti seluruh tempat itu. Kehancuran total. Langit merah dan kobaran api menghiasi puing-puing yang hancur. Jeritan pilu dan genangan darah, membawaku kembali ke masa Ragnarok. Semuanya seperti Ragnarok. Aku pasti akan menduga ini adalah Ragnarok, kalau saja aku tidak melihat ini adalah kotaku sendiri.

Aku melihat ribuan ledakan dimana-mana. Kugendong adikku dan kubawa dengan penuh tenaga. Aku tidak memedulikan teriakan orang-orang sekarat yang meminta tolong. Fokusku hanya satu, berlari secepat mungkin menuju pesawat penyelamat. Beberapa marinir mengayunkan lengan ke arahku. Memaksaku untuk segera masuk ke dalam. Aku menjerit, Tunggu! Tunggu aku! Hujan api semakin deras. Ribuan ledakan dimana-mana. Aku bisa melihat seberkas cahaya yang begitu cepat menuju arah kami.

Aku menghentikan langkah. Berkas cahaya itu seakan menuntun refleksku untuk menyingkir. Aku membalikkan diri. Tapi terlambat. Berkas cahaya itu menghantam pesawat yang akan aku tuju. Benda itu lalu melepaskan ledakan yang mengerikan. Aku dan Aisha terpelanting. Dia melompat jauh dari tempatku berada.

“Aisha!”

Aku berusaha bangun. Kupaksakan kakiku berjalan walaupun terseok-seok. Kutemukan adikku setelah berteriak berkali-kali. Disana Aisha merintih kesakitan sambil memegang kakinya yang lemah.

“Kakak, tolong...”

“Bertahanlah!” aku berlari menghampiri dirinya. Kuraih tangannya. Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di antara kami. Kera berlendir itu. Cakarnya yang hitam tajam membelah lenganku. Tanpa sadar aku menjerit. Rasa sakit yang amat sangat menyerang tubuh. Aku jatuh terduduk.

Aisha menjerit ketakutan! Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa. Aku sendiri tak kalah paniknya. Kalap, kulihat lenganku terkulai tak jauh dari tempat kami. Darah terus merembes keluar. Aku masih tak percaya lenganku putus. Melupakan Aisha, aku mengerang-erang sendiri. Tapi itu tak lama. Monster-monster itu, kera hitam berlendir, mendatangi kami. Wajahnya yang bengis, berdiri antara aku dan Aisha.

“Aisha!!!”

Kera-kera itu meraung. Mereka menghalangiku berdiri mendekati Aisha. Aku melihat dua lengan Aisha dipegang masing-masing oleh kera itu. Mereka sepertinya hendak membawanya pergi!

“Jangan sentuh Aisha! Jangan sentuh dia, makhluk berlendir menjijikkan!!!”

Kera itu membalas teriakanku dengan raungan kencang. Aisha meronta-ronta saat mereka membawanya pergi. Aku semakin panik. Kucari celah untuk melepaskan adikku. Tapi sebuah rasa sakit teramat sangat kembali menghadiriku. Aku memandangi perutku. Aku melihat tanduk hitam berlendir itu menancap di perutku.

Aisha makin meronta!

“Lepaskan dia!!!”

Nafasku terengah-engah. Mataku memburu. Keringat bercucuran keluar dari tubuhku. Aku memandang sekelilingku. Baju putih, selimut, dan ruangan penuh dengan komputer dan selang plastik. Aku berusaha mengingat-ingat tempat ini. Bangsal pengobatan. Juggernaut. Alcyon Verrel.

Kuseka keringat. Rupanya tadi hanya mimpi. Mimpi yang sangat buruk.

Tiba-tiba aku merasa perasaanku sangat tidak nyaman. Bila mimpi yang kualami itu benar-benar suatu pertanda, Ada kemungkinan Aisha berhasil ditangkap oleh mereka. Tubuhku menggigil. Aku teringat Ragnarok. Semua manusia yang ditangkap Zakhon akan menjadi santapan inangnya. Nerve, makhluk seperti umbi raksasa, dengan penuh lendir, tanduk, tentakel di sekujur tubuhnya.

Aisha! Aku harus segera mencarinya! Dia pasti masih selamat! Zakhon seperti semut. Mereka lebih suka mengumpulkan bahan makanan ketimbang langsung memakannya. Aisha pasti berada di sarang mereka dan pasti masih dikumpulkan dengan sandera yang lain. Kalau aku cepat, aku bisa menyusulnya.

Kupandang jam. Alcyon tampaknya terlambat. Pria itu pasti terlalu sibuk. Aku bisa memaklumi. Lagipula dia sudah banyak menolong dengan memulihkan kondisiku seperti sediakala. Itu saja aku sudah sangat berterima kasih. Aku tak ingin merepotkan dia lagi.

Aku harus segera kembali ke Celesta. Harus! Sekarang! Aku mengumpulkan tenaga, tekad. Kupaksakan mengangkat tubuhku yang masih lemah. Kekuatiran terhadap adikku memberiku kekuatan untuk bergerak. Kupijakkan kaki kiriku ke atas lantai putih. Kubuat bangsal sebagai sandaran. Rasa sakit gara-gara tubuh yang terlalu dipaksakan memenuhi syaraf otakku. Aku meringis sebentar. Kudiamkan diri sambil kembali mengumpulkan tenaga.

Aku menyeret langkah perlahan-lahan menuju pintu kamar. Kuperhatikan keluar pintu, terlihat lalu lalang orang yang sepertinya tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Aku menunggu sampai lorong itu cukup sepi untuk dilintasi. Kusandarkan tubuh di balik pintu sampai orang terakhir melintas.

Kumantapkan langkahku, kubuka pintu, lorong itu masih sepi. Aku melangkah terseok-seok menuju ujung lorong. Tiba-tiba terpikir soal penyamaran, aku mencari ruang dimana banyak baju ganti untuk para perawat. Dan betapa beruntungnya, ruang itu ada tidak jauh dari tempatku berada.

Aku terus melangkah, tentu saja dengan perlahan-lahan karena tubuhku sulit diajak bekerja sama. Dinding besi menjadi penahan tubuhku agar aku bisa menyimpan tenaga untuk berjalan lebih jauh. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, aku sengaja berdiri tanpa tumpuan apabila ada seseorang berjalan di sampingku. Dan tentu saja, memberi senyuman ramah.

Aku keluar dari ruang pengobatan dan berjalan menuju lift. Di sana terdapat denah pesawat yang menunjukkan dimana posisimu dan posisi pos-pos penting. Kucari hangar. Setelah beberapa saat kutemukan posisinya berada di bagian atas pesawat ini.

Kunaiki lift. Dalam beberapa menit aku sampai di hangar. Ruangan itu cukup besar dengan ratusan personel tempur milik Red Raccon. Aku bisa melihat beberapa teknisi, dalam jumlah tidak cukup banyak, tengah mengecek beberapa robot yang kukenal sebagai mechron. Benda setinggi dua meter itu dipajang berderet di sepanjang dinding dengan ratusan kabel yang menghubungkan tubuh mereka. Aku juga melihat beberapa pesawat evakuasi yang pernah kukenal mengungsikan penduduk waktu koloni diserang dulu. Beberapa robot-robot setinggi tujuh meter, beberapa pesawat berbaling-baling, beberapa pesawat tempur, dan tank-tank. Tak heran, dengan kekuatan sebesar ini, Red Raccon berani menantang Galatia.

Aku mengendap-endap mencari pesawat yang bisa kunaiki. Omongan Kapten Alcyon soal jarak menuju Celesta yang takkan bisa ditempuh pesawat biasa tidak kugubris. Aku tahu, selama pesawat itu bisa mengaktifkan warp, dia bisa kemana-mana sesuka hatinya. Aku tersenyum sedikit, dikiranya aku seorang bodoh yang tak tahu menahu soal pesawat. Meskipun waktu Ragnarok aku hanya seorang medis, tapi mentorku banyak bercerita kepadaku soal pesawat, dan tentu saja ceritanya meruntuhkan segala ucapan Alcyon.

Aku melihat, di deret paling ujung, sebuah pesawat tempur satu awak. Aku mengenalnya sebagai Loki, pesawat andalan Galatia sewaktu Ragnarok. Aku sering melihatnya di langit KroniR waktu Ragnarok dulu. Satu-satunya pesawat tempur yang mampu menembus warp, stealth, dan sangat mematikan, seperti cerita mentorku dulu. Dengan benda itu, aku bisa mencapai Celesta.

Kuaktifkan mekanik pengangkut sebelum menaiki pesawat. Ketika benda seperti lift berukuran besar itu bergerak mengangkat Loki menuju tempat lepas landas, beberapa teknisi disana meneriakiku. Saat mereka tengah berlari terengah-engah menuju tempatku berada, kuambil kesempatan itu untuk menaiki pesawat.

Sementara mekanik pengangkut terus bergerak ke atas dan teknisi bawel itu tak henti-hentinya memakiku, aku memasuki pesawat. Kubuka perlahan kaca pesawat yang juga pintu masuknya dan ternyata tidak dikunci. Kuperhatikan semua komponen di dalamnya. Untuk komponen standar aku pernah mempelajarinya sewaktu Ragnarok. Sementara untuk komponen tambahan, aku bisa membuka manual yang sudah disiapkan dalam televisi plasma di depanku. Aku melihat helm pilot tergeletak di depan kursi. Helm itu yang digunakan pilot untuk mengendalikan pesawat. Hampir semua kontrol yang terdapat di dalam Loki semuanya sudah disetel dalam helm itu. Jadi kita mengendalikan pesawat sama seperti kita sedang memikirkannya.

Sebuah jendela di langit-langit terbuka begitu mekanik pengangkut membawa Loki sampai batas paling atas hangar. Kini teriakan orang-orang itu sudah tidak terdengar lagi. Sebuah jendela lain di atas kami terbuka, menuju angkasa yang kedap udara. Lamat-lamat aku mendengar bunyi alarm. Rupanya para teknisi itu tidak rela pesawatnya kubawa satu. Tanpa memedulikan bunyi memekik dari alarm yang bersahut-sahutan, aku menghidupkan mesin pesawat. Kami sudah di landasan pacu sekarang. Ribuan bintang-bintang di atas angkasa hitam menjadi saksi bisu atas apa yang tengah kuperbuat. Mesin semakin panas. Aku memulai tahapan peluncuran. Sebuah boost, perlahan dan pasti, pesawat itu melaju meninggalkan Juggernaut.

Aku bersyukur bisa meninggalkan Juggernaut tanpa gangguan apapun. Meskipun alarm masih bersahut-sahutan tapi aku heran tak seorangpun keluar dari Juggernaut untuk mengejarku. Aku sampai pada kesimpulan mungkin Alcyon sudah mencegah semuanya untuk mengejarku. Kapten itu sungguh baik, dan aku merasa bersalah telah berprasangka buruk padanya.

Loki terbang semakin menjauh. Baru kali ini aku bisa melihat sosok pesawat induk raksasa milik Red Raccon itu. Ukurannya memang sangat besar. Aku menduga Juggernaut ini mirip Battlecruiser Armageddon andalan Galatia saat Ragnarok. Sebuah pesawat raksasa yang digunakan untuk menyimpan logistik dan personel tempur. Kulihat planet hijau berkilau terang di belakangnya, Planet Leria. Aku tak bisa terlalu santai menikmati pemandangan memesona planet itu. Aisha sudah menunggu.

Kupelajari manual pesawat itu. Setelah menarik beberapa kesimpulan aku mulai, dengan perlahan-lahan, mengaktifkan fungsi warp. Tidak sulit karena tiba-tiba sebuah wormhole terbentuk di depan kami, pertanda prosedur pertama warp sudah berhasil dilakukan. Tujuan sudah kutentukan. Planet Hosperia, Sistem Celesta. Pesawatpun mulai melaju kencang memasuki wormhole.

“Terima kasih atas segalanya, Kapten Alcyon Verrel”, tukasku sambil berbisik.

Baca selengkapnya......