Sabtu, 12 Februari 2011

NOVA - prolog

Prolog

Sarah Fleuret
Koloni Imparis
Planet Hosperia, System Celesta
10:20 waktu setempat

“Sarah!!!”

“Bangun Sarah! Ayo bangun!”

Kukerjapkan mata. Perlahan kulihat sosok buram di depanku menggenggam erat pundakku dan menggoyang tubuhku panik. Osmo, wajahnya menyiratkan kelegaan luar biasa saat melihat aku masih mampu duduk. Pria itu seperti tengah mengucap sesuatu. Aku masih belum bisa mendengarnya gara-gara telingaku yang berdengung. Kencangnya suara gemuruh ledakan yang terdengar meredam suara Osmo. Banyak tubuh tak bernyawa di ruang bawah tanah itu. Hanya kami berdua setidaknya yang masih utuh.



“Kau tak apa…? Teriakannya berhasil kutangkap diantara ribuan ledakan. Aku mengangguk lemas sambil berusaha menahan tubuh tetap sadar. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba bayangan wajah seseorang terlintas di kepalaku. Kucengkeram lengan Osmo.

“Aisha!? Mana Aisha?!” ucapku panik. Pikiran tentang keselamatan adikku memberikan tenaga tersembunyi dalam tubuhku. Tiba-tiba sakit yang kuderita hilang semua. Rasa khawatir mengendalikan tubuhku.

“Maafkan aku Sarah…”, tukas Osmo sambil meringis kesakitan karena lengannya kugenggam, “hanya kau yang berhasil kutemukan dan kubawa kemari. Aku... tidak melihat Aisha...”

“Apa?!” aku tercengang, saat evakuasi aku yakin masih menggenggam erat tangannya dan sekarang dia menghilang?

“Pesawat penyelamat juga sudah pergi… Kita tertinggal disini…”

Aku terkejut, “Mereka telah pergi? Bagaimana dengan yang masih tertinggal?”

“Aku tidak tahu… Hei! Kau mau kemana?” teriaknya melihatku berusaha keluar dari tempat itu. Digenggam lenganku keras pertanda aku tidak boleh pergi. Aku berontak.

“Aku harus menemukan Aisha!”

“Disana terlalu berbahaya! Zakhon ada dimana-mana! Tunggulah disini setidaknya sampai marinir datang, lalu kita cari bersama-sama adikmu!”

“Terlalu lama menunggu dia bisa mati! Kau tahu sendiri kan bagaimana kondisi Aisha!”

Osmo mengendurkan pegangannya. Aku masih menatapnya lekat saat pria itu berdiri bersamaku. “Kau ikut?” tanyaku padanya. Dia akhirnya mengangguk lemah.

Kami melangkahkan kaki menuju pintu masuk dimana terdapat pintu baja yang sudah tergeletak hancur. Meskipun ruangan ini sudah didesain sebagai tempat evakuasi warga sipil, tapi tetap saja Zakhon mampu menghancurkannya. Pertolongan pastilah terlambat datang, kalau tidak orang-orang yang bergelimpangan disini masih hidup sekarang. Zakhon sudah membunuh semuanya. Mungkin hanya kami saja yang beruntung karena sempat bersembunyi.

Situasi di luar tidak lebih baiknya daripada di dalam. Kota sudah sepenuhnya hancur. Asap hitam membumbung tinggi dimana-mana. Tanah dipenuhi lubang-lubang besar, gedung runtuh sepenuhnya, kobaran api menyala diantara puing-puing kendaraan dan mayat manusia. Aku melihat ratusan benda terbakar jatuh dari langit merah kelabu. Benda itu berbentuk seperti ubur-ubur, berwarna ungu gelap, dan bertentakel. Beberapa darinya menghampiri tempatku berada. Osmo menarik tanganku dan membawaku ke tempat teraman terdekat.

DHUAAARRR!!!

Satu dari mereka menghantam tempatku tadi berdiri dan meninggalkan sebuah lubang yang cukup besar. Benda berwarna ungu itu kemudian melepuh disertai keluarnya cairan lengket dan lima buah benda bulat bening.

“Zakhon!” tukas Osmo ketakutan, “Ayo Sarah! Kita menjauh!”

Aku masih bisa melihat sesuatu melesak keluar dari benda berbentuk seperti telur itu. Seekor makhluk aneh. Bentuknya seperti kera tapi memiliki sisik hitam keras, penuh lendir, dan memiliki lengan penuh cakar-cakar tajam. Sementara itu tubuhnya sendiri hampir diselimuti duri tajam seperti tanduk, dari kepala hingga ujung ekornya yang panjang. Ada sekitar lima makhluk serupa yang keluar dari benda itu. Osmo menyeretku semakin menjauh.

“Kau cari mati hah? Ayo cepat kita pergi!” teriak Osmo sambil membawaku menuju reruntuhan sebuah mall. Aku menurut saja. Ratusan benda seperti tadi semakin gencar berjatuhan dari langit. Aku menggenggam tangan Osmo semakin erat. Kami terus berlari sebelum akhirnya aku melihat benda ungu itu menghampiri kami.

“Osmo! Menghindar!”

Terlambat kami menyadari saat benda itu menghantam tanah tak jauh dari tempat kami berdiri. Ledakan dahsyat menghantam tubuh kami dan melempar kami ke belakang. Osmo menghantam sebuah dinding gedung sementara aku sendiri terhempas ke atas trotoar. Sama seperti benda mirip ubur-ubur yang kutemui tadi. Benda di depan kami itu melepuh dan mengeluarkan butiran benda bulat bening. Beberapa diantaranya sudah melepaskan makhluk mirip kera seperti yang kulihat tadi.

“Sarah!”

Suara Osmo yang berulang-ulang membantuku tetap sadar. Aku bisa melihat kondisi Osmo tidak terlalu baik. Pria itu seperti tengah kesulitan berdiri. Disandarkan tubuhnya di sebuah reruntuhan dinding sementara benda seperti besi tengah menancap di kakinya. Darah merah keluar deras dari kakinya. Aku menjerit perlahan.

“Tahan Osmo! Aku akan kesana!” pintaku sambil sedikit berteriak. Kupaksakan tubuhku yang masih lemah untuk berlari mendekatinya. Namun belum sampai lima meter aku berlari, beberapa ekor makhluk yang menyerupai kera itu menghampiri Osmo. Salah satu dari mereka menancapkan lengannya yang penuh cakar ke kepala Osmo, menghancurkan kepalanya. Tanpa sadar aku menjerit keras.

“OSMO!!!”

Makhluk-makhluk disana berebut mengoyak pria itu seperti anak kecil berebut kue. Aku tak bisa menjelaskan seperti apa bentuk Osmo sekarang. Tubuhku terlalu lemas untuk digerakkan. Makhluk-makhluk itu kini bergerak ke arahku. Tiga matanya yang berwarna hijau tua bergerak memandangku. Tatapan mereka keji seakan telah menemukan mangsa baru yang siap dihabisi.

Seekor makhluk melompat mendatangiku. Dikibaskan lengannya tepat ke arahku. Dengan sisa tenaga yang ada kupaksakan diriku bergerak. Tapi gerakanku tidak lebih cepat daripada lengan makhluk itu yang menghujam betis kananku. Aku menjerit keras. Darah memancar kemana-mana. Makhluk itu meraung kencang. Aku memegang betisku yang sudah hancur sambil menjerit kesakitan.

Seakan tak kenal ampun, Seekor makhluk lagi menyusul rekannya menyerangku. Cakarnya yang hitam berlendir menancap keras di tubuhku. Aku bisa melihat buraian usus dan darah melesak keluar dari perutku. Aku mendelik. Ribuan rasa sakit menjalari kepalaku hingga ubun-ubun. Darah segar keluar dari semua penjuru tubuhku. Aku menjerit, mengerang keras karena rasa sakit yang tak terkira. Tubuhku menggelepar-gelepar. Aku sekarat.

Saat makhluk itu hendak mencabikku lagi, aku merasa sebuah cairan biru kental memenuhi wajahku. Cairan biru yang amisnya seperti darah. Tak lama aku mendengar jeritan yang lain. Tubuh-tubuh makhluk itu berjatuhan di sekitarku. Beberapa dari mereka menggelepar di tanah sebelum kepalanya yang mirip kera itu hancur berhamburan. Aku belum sempat mencari tahu cukup banyak tentang apa yang terjadi karena rasa sakit yang teramat sangat itu membuatku kehilangan kesadaran. Aku merasa semuanya menjadi gelap.

***

Alcyon Verrel
Kapal Induk Utama Juggernaut
Orbit Planet Hosperia, System Celesta
12:40 waktu pesawat

Suara desis kencang terdengar saat bilah baja itu terlepas dari dadaku. Perlahan-lahan beberapa bagian armor mechron terbuka dan melepaskan tubuh di dalamnya. Aku bisa merasakan segarnya hawa penyejuk ruangan setelah helm baja dilepas. Suasana di dalam mechron memang cukup panas. Maklum, armor itu didesain hanya untuk bertempur, bukan untuk bersantai. Beberapa pria berpakaian putih, para ilmuwan, menatapku dengan penuh hormat. Aku tersenyum dan menerima sebotol Oxyd sebelum akhirnya salah seorang paling tua diantara mereka menghampiriku.

“Tak kusangka Zakhon akan secepat ini menyerang Celesta. Hosperia telah jatuh, hanya sedikit dari total populasi yang tersisa berhasil kita selamatkan.”

“Bagaimana dengan orang-orang yang kubawa?”

“Anda terlalu nekat turun ke permukaan hanya demi menyelamatkan segelintir orang yang mungkin sudah tidak terselamatkan lagi. Separuh dari mereka sekarat, Kapten!”

“Mereka tidak menginginkannya, Oscar! Lagipula pesawat angkut kita tidak sempat menyelamatkan mereka. Gempuran balik dari pihak Zakhon terlalu kuat. Aku saja baru bisa turun setelah mereka mundur.”

“Kita juga menyerang balik, Kapten! Jangan mengabaikan Red Raccon! Armada kita juga kuat!”

“Kau benar!” aku tersenyum, “Dan sudah kewajiban kita untuk menyelamatkan mereka yang sengaja diabaikan oleh Galatia. Kalau bukan kita yang mengayomi, siapa lagi?” tukasku lagi sambil meminum Oxyd. Hosperia dengan warna merahnya berkilau indah di depan jendela pesawat kami. “Persemakmuran sudah melupakan penduduk sipil yang berada di Lingkar Luar. Mereka adalah orang-orang malang yang merupakan santapan lezat bagi Zakhon.”

Pria tua di sampingku tertawa.

“Lalu, gadis itu, apa dia selamat?”

“Dia satu-satunya yang aku sendiri tidak yakin akan keselamatannya. Organ dalamnya terburai, tubuhnya hancur. Saat kaubawa kemari, aku sendiri heran kenapa dia masih bernafas. Kami sudah melakukan apa yang kami bisa untuk menjaganya tetap hidup.”

Aku mengangguk. “Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Tolong, berikan yang terbaik!” pintaku pada pria beruban itu. Dia tersenyum.

“Neil memberitahuku bila kapten sudah naik nanti, tolong beritahu dia, Putri Auria dari Kerajaan Mystian ingin bertemu dengannya.”

Aku mengangguk. Kulangkahkan kaki memasuki lift yang akan mengantarku menuju Ruang Kendali Pesawat. Misi kami di Hosperia sudah selesai. Neil tentu sudah menunggu koordinat pesawat selanjutnya disana.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar