Rabu, 13 Juli 2011

Empat Penunggang

“Aku bermimpi, seekor kuda yang begitu anggun dan tampan, putih warnanya.Aku melihat penunggangnya. Seorang berzirah perak. Dia memegang busur dan panah di tiap sisi tangannya. Sebuah mahkota berbalut emas dan bertatah berlian menghiasi kepalanya. Wajahnya pencerminan kepercayaan diri seorang ksatria. Aku terpesona saat memandangnya. Penunggang itu, dia ditakdirkan meraih kemenangan.”

Tahun 2121, setelah musim dingin nuklir yang panjang, hampir seribu tahun sebelum aku lahir, sebuah aliran spiritual muncul di tengah hingar-bingar dunia yang saat itu sedang dilanda krisis dan kekacauan. Para leluhur menyebutnya Eur, sebuah agama yang dibawa oleh sang terpilih, Rasul Daren. Sang rasul membawa sebuah pesan spiritual, yang mereka sebut Wahyu, dan berusaha membangun ulang peradaban yang sempat hancur. Berkat bantuan lima Keluarga Lama, Eur menjadi kuat. Mereka membangun sebuah kerajaan spiritual, perpanjangan tangan Eris Alvar Yang Tunggal, di sebuah kota suci kuno yang disebut Edenoir. Penghitungan tahun mulai ditetapkan. Eur lahir di tahun 1 EN (Euri Natali).



300 EN, setelah penyebaran agama yang cukup radikal diantara kancah perseteruan dunia, Eur akhirnya berhasil mendapatkan posisinya sebagai aliran utama dunia. Eur menjadi pusat teologi utama dunia dan Edenoir menjadi kota suci bagi para penziarah. Setelah kematian Sang Rasul, lima pimpinan Keluarga Lama melakukan pemilihan diantara para Eudr, pemimpin agama, untuk menjadi Pion, imam agung Eur dan Kerajaan Edenoir. Edenoir lalu berkembang, tidak hanya sekedar pusat spiritual, tetapi juga menjadi kerajaan adidaya yang memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan politik. Para penerus Keluarga Lama menjadi klan berpengaruh dalam mengendalikan arus kehidupan dunia.

“Aku kembali bermimpi, seorang penunggang kuda yang lain. Kuda dengan warna merah padam. Orang yang menungganginya diberi kuasa untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar yang selalu diacungkannya ke atas langit. Kudanya terus menerus meringkik keras. Dia melaju dan api neraka mengikuti jejak kakinya. ”

900 EN, sebuah ancaman spiritual besar muncul dari kawasan timur. Mereka yang menyebut diri mereka Para Pembebas mengumandangkan sebuah argumen spiritual baru. Pembebasan diri dari kefanatikan Edenoir. Mereka menganggap Eur telah dimanipulasi para Eudr untuk kepentingan duniawi. Kesucian Eur telah disimpangkan demi hasrat personal. Edenoir dianggap terlalu turut campur dalam masalah dalam negeri mereka. Para Pembebas menginginkan pemurnian lagi Eur, lepas dari kungkungan Pion di Edenoir. Perseteruan teologis pertama terjadi. Kestabilan Eur mulai tergoncang. Kerajaan dan negara antara pendukung Edenoir dan mereka yang ingin lepas dari dominasinya saling bertempur. Pertumpahan darah telah dimulai. Cita-cita Para Pembebas mulai tercampur dengan hasrat berperang dari masing-masing negara. Sekali lagi, dunia jatuh dalam kekacauan dan anarkhi.

”Dalam mimpiku selanjutnya, muncul penunggang kuda yang lain. Dia mengendarai seekor kuda berwarna hitam. Sebuah timbangan dia genggam di tangan kanannya. Timbangan itu oleng. Dia berteriak tentang fitnah, tentang penghasutan, dan kebohongan perdagangan. Dia mengangkat timbangan itu tinggi ke atas. Aku mendengar teriakan gegap gempita. Kuda hitam itu berlari membawa penunggangnya dan timbangan yang oleng.”

950 EN. Stabilitas Edenoir yang awalnya kuat dan adidaya mulai terguncang oleh perang. Para Pembebas dan Edenoir dengan negara pendukungnya masing-masing, jatuh ke jurang kehancuran. Perekonomian dunia sepenuhnya kolaps. Edenoir tidak sanggup menjaga kestabilan keuangan dunia. Harga-harga melejit tinggi. Penjarahan dan perampokan terjadi di kalangan masyarakat bawah sementara para bangsawan mengeruk untung sebesar-besarnya demi dirinya sendiri. Dan perang masih berlarut-larut tanpa bisa memberi keputusan siapa yang kalah siapa yang menang.

Dan semua itu sudah diramalkan.

Kututup buku harian itu. Tertulis nama Daren disana. Buku itu milik Sang Rasul, seribu tahun yang lalu. Perpustakaan Edenoir sudah menyimpannya dengan sangat baik. Tapi aku tidak berniat mengembalikan buku itu kesana. Benda yang seharusnya menjadi relik suci itu kubawa dalam jubah merahku. Aku hendak menunjukkannya kepada Yang Mulia.

Seorang penjaga membukakan pintu untukku. Di dalam, pria yang sudah lanjut dengan rambut serba putih mengangguk kepadaku. Wajahnya teduh dan penuh kasih. Dia mengenakan seragam kebesarannya sambil sebelumnya terlihat termenung menatap jendela. Aku mendatanginya dan mencium tangannya, tanda penghormatan. Pria itu membalasanya dengan tersenyum.

“Eudr Gnadimi, apa sudah saatnya?”

“Tak lama, Paduka.”

Pria tua itu, Pion Arawn, mengangguk. Kulihat wajah yang begitu letih. Dia kembali memandangi jendela. Musim dingin telah tiba di Edenoir. Kota tua itu berselimut salju. Butir-butir putih masih berjatuhan dari langit. Pepohonan meranggas. Halaman istana, tempat dimana biasa para Eudr berkumpul, kini terlihat sepi. Sepanjang penjuru jalan kota pun terlihat lengang.

“Yang Mulia, menyoal perang ini… Apakah kita akan selamat?”

Sang Pion melihat kembali ke arahku. Wajahnya tampak bertanya-tanya.

“Perang ini, mungkinkah mereka akan mendapatkan kemenangannya? Mungkinkah Edenoir akan…”

“Kenapa kau berkata seakan-akan kita akan kalah, Gnadimi? Yakinlah! Kita masih kuat! Edenoir masih mampu bertahan.”

“Tapi perang tidak kunjung jua berakhir. Apa ini pertanda Yang Tunggal tidak bersama lagi dengan kita?”

Aku melihat keterkejutan di wajahnya.

“Kenapa kau meragukan kuasa Yang Tunggal? Eris Alvar masih bersama kita, Gnadimi. Yang Tunggal melindungi kita dari kejahatan para binatang buas. Yang Tunggal menjaga kesucian Edenoir dari tangan-tangan kotor.”

“Amin…”, balasku.

“Seharusnya, Eudr dengan kualitas iman yang tinggi sepertimu, tidak pantas menanyakan hal seperti itu.”

“Aku hanya…, bukannya aku meragukan imanku, Yang Mulia. Hanya saja, bila lama kurenungkan, apa yang diucapkan mereka ada benarnya juga.”

Pion Arawn menatapku tajam, “Mereka? Para Pembebas itu maksudmu?”

Aku mengangguk, “Aku melihatnya sendiri, beberapa dari saudaraku telah melencengkan iman mereka untuk sesuatu yang duniawi. Mereka berkata tentang Eur dan kebahagiaan abadi, tetapi mereka meraup keuntungan dari hal-hal yang tidak benar. Mereka mengambil hak orang dengan mengatasnamakan Eur. Mereka mendakwa bidah hanya karena tidak mendukung kebijakan mereka. Beberapa orang tentu berpikir, kesucian Eur perlu diselamatkan dari tindakan Eudr yang hina ini.”

“Jadi, sekarang kau lebih mempercayai ucapan kaum bidah itu daripada saudara-saudaramu sendiri, Gnadimi?” Arawn menukas keras. Aku langsung menunduk. Tidak seharusnya aku mengatakan hal seperti ini secara blak-blakan. Kondisi saat ini sangat buruk, dan mungkin Pion tidak dalam suasana hati yang baik.

“Tidak, Yang Mulia. Saya hanya ingin, mengatakan apa yang sejujurnya dari hati saya.”

Pion tersenyum sinis. Dibuangnya tatapan ke jendela. Senja sudah datang. Matahari perlahan jatuh ke batas horizon. Membentuk siluet indah bangunan-bangunan kota Edenoir. Pria tua itu mendesah sesaat sebelum berkata-kata.

“Kita juga tidak diam dengan kondisi ini. Kita menghukum mereka yang telah menodai kesucian Eur. Kita juga punya protokol. Kita telah mengusahakan yang terbaik, tapi mereka, para pemberontak itu, tetap saja menganggap kita… sekumpulan fanatik berpikiran picik.”

Aku mengikuti tatapannya ke arah jendela. Semburat merah mulai menghilang di langit yang perlahan gelap.

“Bagaimana pendapat Anda tentang ramalan, Yang Mulia?”

“Maksudmu?”

Aku mengambil sesuatu dari balik jubah merahku. Pria tua itu terkejut tatkala melihat apa yang kutunjukkan padanya.

“Buku harian Sang Rasul. Bagaimana kau bisa mendapatkannya?”

“Yang Mulia, ini bukan masalah bagaimana aku mendapatkannya. Tapi, yang menjadi masalah adalah tulisan Rasul di halaman terakhir buku ini… Tentang mimpi-mimpinya, yang menurut saya, adalah ramalan tentang masa depan.”

“Apa maksudmu soal para penunggang itu? Kau bermaksud menyamakan apa yang diimpikan Rasul Suci dengan apa yang kita alami saat ini?”

“Saya hanya, merasa apa yang dituliskan Sang Rasul benar. Mimpi-mimpi itu, adalah ramalan akan apa yang bakal terjadi dengan... Edenoir?!”

Pion menggeleng keras. Dia seperti sangat tidak setuju dengan kata-kataku.

“Penunggang kuda putih itu, lambang kemenangan. Lalu datang penunggang kuda merah, pembawa perang dan kekacauan. Lalu kuda hitam, membawa keguncangan perekonomian dan kemelaratan kepada dunia. Lalu kuda keempat…”

“Cukup, Gnadimi! Cukup! Tidak sepatutnya kau menerjemahkan secara langsung isi buku-buku yang berada di kategori ‘Terlarang’! Buku harian itu tak bisa ditafsirkan secara harfiah, Gnadimi!”

“Yang Mulia, saya mohon pahamilah! Apa yang tertulis dalam buku ini, sejalan dengan apa yang telah terjadi sepanjang seribu tahun ini. Ramalan ini, akan terus berlangsung bila kita tidak secepatnya mengakui semua kesalahan kita ke mata dunia. Lebih baik kita memulai perdamaian, mengalah dalam perseteruan ini. Kita gunakan sisa tenaga kita untuk memperbaiki sistem teologis kita. Memperbaiki Edenoir. Memperbaiki dunia. Hanya itu, yang diinginkan suara-suara di luar sana terhadap kita!”

“Menunduk takluk di bawah kaki para bidah terkutuk itu! Tidak akan, Gnadimi! Kita tidak sudi mengalah! Kita akan terus berjuang! Kita tidak akan kalah oleh para kaum bidah itu karena aku yakin, Yang Tunggal akan selalu bersama kita.”

“Demi Edenoir, Yang Mulia…”

“Jangan mencoba menguliahi aku, Gnadimi. Usiamu yang baru tiga puluh tahun, meski aku akui kejeniusanmu mencengangkan para Kepala Keluarga Lama, namun aku yang lebih paham soal apa yang tengah terjadi disini!”

Kulihat wajah tua itu beringsut marah. Aku mengangguk mencoba meredakan amarahnya. Pria tua itu menyeret tubuhnya ke kursi kayu oak yang terdapat di depan meja kerjanya. Dia duduk sambil memijit jidatnya. Tiba-tiba terdengar suara lonceng dari balik tubuhku. Kudengar pintu tua besar itu berderik. Beberapa pria berjas hitam masuk sambil memberi hormat.

“Ya?” Pion Arawn sedikit melirik.

“Yang Mulia…”, kulihat pria itu, Aramis, Kepala Keamanan Kerajaan berkata sambil sesekali melihatku, “…kita harus pergi!”

“Sudah saatnya?”

“Musuh menguji coba Bom Fusi di wilayah Emprion. Acara kita dipercepat. Kendaraan kita sudah siap dan semua Eudr sudah menunggu.”

Kami berdua sama-sama terkejut, “Bom Fusi?!”

Aramis membalas dengan anggukan. Pion Arawn berdiri. Sekilas dia memandangku sebelum Aramis membantunya berjalan.

“Seperti itukah orang-orang yang kau percaya akan memperbaiki dunia? Menghancurkan tanpa ampun? Pemurnian Eur hanya kedok, Gnadimi. Mereka hanya menginginkan kekuasaan. Mereka akan terus dan terus berperang sampai keinginan mereka dituruti, itulah yang akan terjadi.”

Aku terdiam. Pion Arawn cukup lama memandangku sampai akhirnya Aramis setengah memaksanya pergi. Dia juga menoleh ke arahku, “Mari, Tuan Gnadimi!”

Derap langkah kaki kami terdengar menggema saat menyusuri lorong bawah tanah Istana. Sesampainya di ujung, aku melihat sebuah kereta bawah tanah sudah siap berjalan membawa kami keluar dari tempat ini. Beberapa pengawal lain sudah siap disana. Aku melihat beberapa Eudr, mereka yang memiliki posisi tinggi di Edenoir juga sudah berada di dalam kereta itu.

Aramis sudah menyiapkan kursi khusus untuk Pion. Beberapa Eudr memberi hormat saat Pion melewati mereka. Sementara itu, aku dibimbing ke salah satu kursi yang kosong di belakangnya. Aku meminta kepada Aramis untuk berada di samping Pion karena urusan kami belum selesai. Aramis setuju. Beberapa saat kemudian, kereta yang kunaiki mulai berjalan. Benda besi dengan tenaga elektromagnet itu terus melaju kencang menyusuri terowongan bawah tanah Edenoir. Ujung terowongan ini adalah batas utara Edenoir dimana pesawat khusus sudah disiapkan untuk mengangkut Pion dan para Eudr kemanapun ke sisi dunia.

Pria tua itu menatapku. Meminta pendapatku mengenai apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa mendekap tubuhnya erat.

“Yang Mulia, saya sangat menghormati Anda, maafkanlah segala perbuatan anakmu ini.”

Pria tua itu tersenyum seraya mengangguk. Dia menjulurkan lengannya membalas dekapanku.

“Asalkan kau kembali ke jalan yang lurus, Gnadimi. Yang Tunggal akan selalu memaafkanmu.”

“Saya sangat mencintai Anda dan Eur. Saya sangat mencintai Edenoir dan tak ingin apa yang susah payah dibangun leluhur kita, hancur karena ramalan itu terpenuhi.”

“Apa maksudmu, Anakku?”

“Saya hanya ingin semuanya lekas berakhir. Semoga Eris Alvar Yang Tunggal mengampuni kita semua.”

Kukecup pipi kirinya. Sebuah reaksi asing memicu jantungku berdetak sangat kencang. Tiba-tiba panas terasa menjalar ke seluruh tubuh. Rasa sakit yang tak terhingga menderaku, memenuhi seisi diriku. Tapi aku tak bisa melepaskan dekapanku. Aku melihat cahaya terang benderang mencuat dari tubuhku. Aku bisa mendengar teriakan manusia-manusia di sekitarku. Terakhir aku tersadar, kulihat wajah tua yang kudekap itu terhenyak, dia menangis. Dia menjerit tanpa suara. Aku bisa melihat kulit tuanya yang meleleh berganti tengkorak putih sampai akhirnya, semuanya menjadi serba gelap.

+++

Lima jam sebelumnya

Aku memandang keramaian dari jendela hotel. Seorang pengawal sudah memberitahuku kalau kereta supercepat yang akan mengantarku ke Edenoir akan segera berangkat dua jam lagi. Aku mengangguk dan memintanya untuk menunggu di bawah. Dia mengangguk sebelum pergi. Kututup buku berwarna merah tua itu. Buku yang sebagian besar kulitnya sudah melapuk termakan usia. Tertulis nama Daren di sampulnya.

Aku menuju lemari. kuambil koper milikku. Kubuka isinya. Sebuah alat berwarna keperakan seperti suntik bius. Bom Nano, begitu orang-orang dari klan Para Pembebas itu menyebutnya. Sebuah rekayasa teknologi yang mengembangkan alat peledak termonuklir sebesar virus. Bila benda ini disuntikkan ke tubuh manusia, bom akan menjalar bersama aliran darah ke dalam tubuh, yang membuatnya tidak dapat terdeteksi oleh siapapun. Bom akan meledak, sesuai perintah pemilik tubuh yang mengirimkan informasi ke otak. Reaksi termonuklir akan terpicu, dan ledakan mampu membakar habis siapapun dan apapun.

Aku tidak berniat memperjuangkan apa yang dicita-citakan Para Pembebas. Yang kuinginkan hanyalah, perang segera berakhir dan ramalan tentang penunggang kuda keempat tidak menimpa kami.

+++

Di akhir mimpiku, seekor kuda pucat muncul. Dia yang menungganginya bernama Maut dan kerajaan kematian mengikutinya. Kepadanya diberi kuasa atas kemusnahan di muka bumi ini dengan pedang, dengan kelaparan dan penyakit menular, dan dengan binatang-binatang buas yang bernaung di bumi. Dari bekas tapak kudanya, kulihat kemusnahan segala bangsa, keruntuhan segala kerajaan manusia, dan kehancuran segala Wahyu.

+++


Baca selengkapnya......

Fantasy Fiesta 2011 : Melodia

“Nim eru nabis enum… Sanem mobus eni sarum”

“Tanah kami yang suci, milik bumi untuk naphlm”

“Bunda kami Euwyr yang bernyanyi”

“Dalam ketentraman dan harmoni”

“Untuk tanah kaum naphlm yang suci”


Kunyanyikan senandung itu, yang biasa dinyanyikan Mama untuknya sebagai pengantar tidur, untuk Agatha. Aku memandangnya iba. Sejak peristiwa itu dia tidak pernah bisa berbicara lagi. Cobaan itu terlalu berat bagi bocah enam tahun seperti dia dan mungkin itu penyebab dia tak bisa berbicara. Kudekap erat tubuhnya sambil menahan air mata agar tidak tumpah di depannya. Aku harus tegar demi Agatha. Aku keluarganya yang tersisa. Aku harus melindunginya.



Hari makin larut. Rembulan biru pucat menyeruak dari balik grabetur yang mengapung di langit atas kami. Grabetur adalah sebutan untuk benua yang melayang di langit dan menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk planet ini. Meski sudah masuk malam, langit terlihat gemerlap. Bintang-bintang berpijar bertaburan diantara tarian aurora. Pemandangan yang mengesankan seandainya kami tidak dalam kondisi seperti ini. Saat kuajak Agatha melihat itu sekilas, rupanya dia sudah tertidur pulas. Kucium dahinya dan kusandarkan diri untuk beristirahat.

Belum lama menutup mata, seseorang menggoyang lenganku. Aku terkejut. Leon rupanya sudah berdiri di depanku. Dia pemimpin rombongan kami.

“Kita berangkat sekarang. Malam ini cukup cerah jadi kita bisa bergerak tanpa penerangan. Besok pagi kita bisa mencapai ujung grabetur Grahdan dan menyeberang ke Phantosur. Disana kita akan aman.”

Aku mengangguk. Kugendong Agatha, yang masih tertidur, di punggung. Beberapa pengungsi yang terbangun sudah kembali melangkahkan kaki. Leon memimpin di depan bersama beberapa pemuda yang masih terlihat sehat. Perjalanan menembus hutan pinus pun dilanjutkan. Begitu selesai menyusurinya kami akan menjumpai desa Ilina, tempat dimana kami bisa menyeberang menggunakan kapal sihir menuju Phantosur.

Belum lama berjalan, kami mendengar sayup-sayup suara gemuruh di kejauhan. Suara itu sangat tidak asing bagi kami dan membuat semua pengungsi di rombongan terkesiap saling menatap. Ekspresi muka mereka yang terlihat letih tiba-tiba siaga. Leon mencoba mendengarkan lebih seksama sebelum akhirnya dia berteriak.

“Sanctifior!!! Merunduk semua!!!”

Kubawa Agatha menuju sebuah semak belukar untuk bersembunyi. Leon tergesa-gesa menghampiriku untuk memastikan kami sudah aman. Kuucapkan terima kasih atas perhatiannya yang cukup besar pada kami. Kudekap kepala Agatha dalam-dalam sambil terus waspada terhadap sekeliling. Semua pengungsi tampaknya sudah mendapatkan tempat persembunyiannya masing-masing. Suara gemuruh terdengar semakin kencang. Daun-daun pinus mulai bergoyang.

Aku melihat lampu-lampu sorot menerangi tempat kami bersembunyi. Ada sekitar enam burung besi berbaling-baling milik kaum manusia, mereka menyebutnya rhapsodos, melayang-layang di atas kami. Kuperhatikan Leon di sampingku begitu bersiaga menjaga kami. Entah mengapa, dalam situasi kritis seperti ini, aku bisa menemukan ketenangan disampingnya. Kudekap erat Agatha yang sedang menerawang kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Cukup lama mereka melayang-layang sebelum akhirnya bergerak menjauh.
Begitu situasi bisa dibilang cukup aman, Leon memberi isyarat kepada rombongan untuk keluar dari persembunyian. Kuangkat Agatha dan kugendong lagi dia di punggungku sebelum akhirnya bergabung dengan yang lain.

Tidak banyak kutahu tentang mereka. Penduduk memanggil mereka Sanctifior. Mereka orang-orang kerajaan yang bertanggung jawab atas pembakaran desa kami. Mereka yang membunuh Papa, Mama, dan Richard. Entah apa dosa kami sampai mereka berniat membantai seluruh isi desa. Sejak pertemuanku dengan para pengungsi lain, aku menyadari ternyata tidak hanya desaku saja yang dibantai. Sanctifior juga memusnahkan semua desa kaum kami dan desa-desa dari ras bukan-manusia yang lain.
“Agatha tidak apa-apa?” tanya Leon membuyarkan lamunanku. Gadis di gendonganku hanya membisu. Aku yang membalas ucapannya sambil tersenyum. Leon menawariku menggendong Agatha tapi aku menolak. Bebannya menjaga lima puluh pengungsi ini lebih berat ketimbang aku yang hanya menanggung Agatha saja.

“Dia masih terpukul dengan kejadian ini. Kehilangan separuh isi keluarga bukanlah hal yang mudah bagi anak seusia dia”, balasku.

“Paman Vincent dan Bibi Eudora adalah orang yang baik. Richard juga anak yang manis. Tak sepantasnya mereka mendapatkan perlakuan seperti itu.”

“Paman Luther dan seluruh penduduk desa kita adalah orang yang baik. Tidak ada alasan bagi manusia itu untuk menangkap dan membakar mereka semua hidup-hidup di tiang pancang!” ujarku sedih. Tak kusadari, air mata meleleh di pipiku. Leon hanya menunduk. Aku juga bisa memahami perasaannya. Ayahnya, kepala desa kami, adalah yang paling pertama dibunuh Sanctifior. Dia dipenggal dan mayatnya dibakar di hadapan kami.

“Kenapa mereka melakukannya?” tanyaku terbata-bata.

“Pemurnian. Mereka berencana memurnikan semua ras di Mystia dalam satu agama. Eur, agama utama kaum manusia. Mereka memaksa kita menjadi penganut Eur dan menyembah hanya kepada Tuhan Eris Alvar.”

“Tapi, Bunda Euwyr adalah pelindung kita. Seharusnya mereka mengerti.”

“Menurut mereka apa yang mereka anut itulah yang paling benar. Kita adalah ras kafir bagi mereka hanya karena kepercayaan kita berbeda. Mereka tak pernah mau mengerti. Manusia adalah makhluk yang pongah, sombong, dan merasa paling berkuasa hanya karena teknologi mereka lebih unggul. Apapun kehendak mereka, dengan menggunakan kekuatan kerajaan, mereka bisa mewujudkannya.”

Aku mengangguk. Ucapan Leon sepenuhnya benar. Kelakuan kaum manusia itu sudah buruk sejak dahulu. Meski kami bermukim di wilayah mereka, Kerajaan Mystia, tapi kami benar-benar menghindar dari membaur dengan mereka.

“Mia, aku mengkhawatirkan incaran utama mereka dari Pemurnian ini. Aku dengar Sanctifior berencana memburu Para Penyanyi dari kaum kita. Mereka menganggap Para Penyanyi adalah pengikut Iblis yang merupakan musuh Tuhan. Karena itu mereka lebih mengutamakan pemusnahan Para Penyanyi yang menolak Eur. Tapi bila kupikir, mereka hanya takut dengan sihir terkuat kaum naphlm, Melodia. Sihir yang tak mampu dikalahkan oleh teknologi tercanggih milik manusia.”

“Para penyanyi… Seperti kami…,” ujarku tertahan. Garis Penyanyi diturunkan oleh ibu ke anak-anak perempuannya. Mama adalah seorang Penyanyi yang hebat. Dia mampu melepaskan Melodia, sihir kuno yang konon dapat memanggil makhluk terkuat di jagad raya ini, divion. Mungkin karena itu, Sanctifior terlebih dahulu membakar Mama.

“Karena itu, apa yang paling kukhawatirkan adalah keselamatan dirimu dan Agatha. Kalian keturunan dari Sang Penyanyi. Aku takut kalianlah yang mereka incar pertama kali.”

Aku mengangguk mengerti. Kudekap Agatha erat-erat. Aku sudah berjanji padanya, sejak kematian mereka, bahwa apapun yang terjadi aku akan melindungi Agatha. Aku akan menyelamatkan keluargaku satu-satunya ini hingga menyeberang ke Phantosur nanti. Meskipun aku tahu aku tak sehebat Mama sebagai Penyanyi, aku akan menggunakan semua sihir yang pernah beliau ajarkan untuk melindungi kami.

“Jangan kuatir,” balasnya tak lama sambil tersenyum, “aku janji akan melindungi kalian!”

Entah kenapa, saat Leon mengatakan itu, jantungku merasa berdebar. Perasaan hangat membuncah mengalahkan ketakutan dari teror yang melanda kami. Tanpa kusadari, aku tersipu sendiri. Rasanya begitu tolol, mengalami perasaan seperti ini saat kaumnya tengah berduka. Tapi setidaknya aku bersyukur karena kehadirannya membuatku merasa tenang seperti saat dia melindungi kami tadi.

Hutan pinus terus kami telusuri hingga menaik ke puncak bukit. Kata Leon di balik bukit itu terdapat desa kaum elf, Ilina, tempat kita menyeberang. Para pengungsi sudah banyak yang kehabisan tenaga sehingga kami menjadi sering beristirahat. Seandainya tidak ada Leon, mungkin kami takkan bisa sejauh ini.

Kupandang langit. Grabetur Abernes terlihat melayang tak jauh dari kami. Di grabetur itulah pusat kerajaan berada. Ukurannya lebih besar dari grabetur Grahdan tempat kami sekarang. Disanalah kebanyakan kaum manusia tinggal. Sementara di sini, kaum bukan-manusia seperti kami, elf, dan beberapa ras bukan-manusia lain yang banyak tinggal.

Kulihat rembulan merah mulai muncul dari balik grabetur itu. Kutepuk bahu Leon. Pria itu mengikutiku memandang langit. Kami tersenyum. Rembulan itu menandakan hari sudah mulai pagi.

“Desa Ilina sudah dekat!” ucapku gembira.

Akhirnya, sesudah berjalan melewati bukit, kami melihat sebuah desa. Tapi ada asap membumbung tinggi dari sana. Wajah Leon mendadak tegang. Aku yang ikut memandang asap itu tiba-tiba ikut merasa tidak nyaman.

“Jangan-jangan…”

Leon berlari menyusuri bukit menuju ke arah desa itu. Kami semua ditahannya untuk tidak ikut. Tapi aku tak bisa menahan diri. Kutarik Agatha dan kami berlari mengejarnya. Tiba-tiba, semua pengungsi juga mengikuti langkah kami menuju desa yang rupanya tidak terlalu jauh dari tempat kami berada. Kecemasanku semakin besar saat dari kejauhan kulihat puing-puing dari desa itu.

Perlahan-lahan, langkah Leon yang laju berubah menjadi lunglai. Untuk pertama kalinya, aku bisa melihat keputusasaan dari pria itu. Kubawa Agatha dan kusongsong dia.

“Tidak…! Ini… tidak mungkin!”

Aku sampai di sampingnya saat tubuhnya jatuh terduduk, tepat di gerbang desa Ilina tempat kami seharusnya menyeberang. Aku mendengar beberapa pengungsi di belakangku mulai meratap. Kami benar-benar tidak menyangka manusia sudah menyerang desa di pesisir lebih cepat dari yang kami kira.

Aku ikut duduk disampingnya. Kupegang erat-erat tangannya. Kubiarkan dia membagi keputusasaan yang dia alami saat ini denganku. Aku sendiripun tak bisa berkata-kata. Satu-satunya jalan bagi kami untuk menyeberang ke negeri yang menjanjikan keselamatan, kini sudah tiada. Sekarang kami terkurung sendirian disini. Sendiri. Tanpa bantuan. Tanpa harapan.

Tiba-tiba terdengar suara dengungan keras dari kejauhan. Suara yang sama seperti saat tadi malam kami melintasi hutan pinus. Wajah semua orang mendadak tegang. Para manusia! Mereka rupanya sudah mengincar kita.

“Rhapsodos!” teriak beberapa orang, “Pasukan Sanctifior!”

“Semua sembunyi! Semua sembunyi!!!”

Kugendong Agatha dan hendak kubawa ke tempat aman. Tapi saat kudekap lengan Leon, dia seakan enggan berlari.

“Leon, ayo!”

“Percuma…”

“Apa maksudmu?”

“Kita… sudah tak punya harapan selamat,” tukasnya putus asa. Mimik mukanya, sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tadi.

“Tidak! Bunda Euwyr takkan meninggalkan kita! Kita tak boleh menyerah! Ayo!”
Suara dengungan terdengar makin keras. Rhapsodos itu tiba lebih cepat dari yang kami duga. Aku melihat enam buah burung besi itu bermunculan dari balik bukit. Rentetan bunga api diiringi suara letupan keras tiba-tiba keluar dari mulut mereka dan menghujani kami di bawah. Aku melihat para pengungsi yang belum siap bersembunyi jatuh bertumbangan. Mereka mulai membantai kami dengan senapan mesin mereka.

“Leon!!!”

Di tengah kekalutan itu sebuah rhapsodos menghampiri kami dengan cepat. Aku melihatnya hendak melepaskan tembakan. Aku kalut.

“Ayo, Leon!!!”

Pria itu menatapku putus asa. Aku semakin memaksanya berdiri.

“Kau berjanji akan melindungi kami, kan!!!” teriakku keras. Kulihat matanya membelalak. Rupanya Leon menyadari kesalahannya. Kami didorong menjauh olehnya saat sebuah rhapsodos itu hampir merobek tubuh kami. Aku dan Agatha terjerembab. Leon berlari ke arahku lalu merengkuh kami berdua. Diantara kami, suara tembakan terdengar semakin nyaring.

“Ma…maafkan aku, Mia! Aku… pria yang bodoh…!” ujarnya berulang kali. Dia menggamitku dan menggendong Agatha sebelum akhirnya membawa kami mencari tempat perlindungan terdekat diantara gencarnya rentetan tembakan.

Tak kusangka, tiba-tiba sebuah rhapsodos menghadang langkah kami. Sebuah kaki besi menjulur dari tubuhnya diikuti lengan berbalut senapan mesin dan sebuah meriam. Benda melayang itu berubah bentuk menjadi semacam robot. Leon langsung memunggungi kami dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng seandainya rhapsodos itu menyerang. Aku tidak sanggup berteriak. Benda itu hendak menembak.

DUAAAARRR!!!

Kudengar suara menggelegar. Tanpa tahu apa yang terjadi, Leon serta-merta berbalik memeluk kami. Sekilas aku melihat rhapsodos terbelah dua. Sesuatu meledakkan perutnya. Benda terkutuk itu jatuh ke tanah.

“Ap… apa yang…?”

Kudengar teriakan membahana di angkasa. Puluhan ekor dragiva, sebuah ras naga terbang yang biasa digunakan untuk berkendara oleh ras bukan-manusia, yang ditumpangi oleh orang-orang bertelinga panjang tengah melayang-layang diantara kami. Bola api biru yang mereka lepaskan menghantam rhapsodos yang tidak sempat berkelit. Beberapa diantaranya hancur.

“Pejuang elf!” ujar Leon terbata, “Mereka menolong kita!”

Rhapsodos yang tersisa tidak sempat menyelamatkan diri. Mereka yang cuma enam buah tidak mampu menahan serangan sihir yang dilepaskan bertubi-tubi oleh puluhan pejuang elf. Dalam sekejap, benda-benda besi yang menghantui kami itu sudah menjadi puing.
Setelah cukup aman, seekor dragiva dengan penunggangnya yang terlihat tua menghampiri kami diikuti dragiva yang lain.

“Salam bagi kaum pemuja Bunda Euwyr yang tersesat. Sungguh suatu keberuntungan kami sempat melihat kalian dikepung burung besi itu. Aku Roush-Tala, pemimpin pejuang dari Suku Elf Selatan. Kami juga sedang menuju Phantosur untuk mencari suaka. Apa kalian membutuhkan tumpangan untuk menyeberang?”

Leon memberi salam. “Kebetulan sekali. Desa Ilina tempat kami hendak menyeberang ternyata sudah dihancurkan manusia. Kami sangat berterima kasih bila Anda berkenan membawa kami menuju negeri kaum elf itu.”

“Kalau begitu lebih baik kita bergegas. Sanctifior pasti akan menyadari pasukannya berkurang. Tak lama lagi pasukan bantuan mereka datang!”

Kami mengangguk. Beberapa pengungsi yang masih selamat kami bawa naik ke atas dragiva. Karena hanya tinggal lima belas orang dari kami yang tersisa, mereka tidak kesulitan membawa kami orang perorang. Aku memilih untuk berangkat paling belakang bersama Leon dan Agatha. Kami berencana menumpang ke Roush-Tala. Dragiva miliknya mampu mengangkut hampir enam orang.

Saat semua sudah berhasil diangkut, tiba-tiba kami menyadari ada sesuatu melayang di atas langit. Kami mendongak bersamaan. Di atas sana, tanpa kami sadari sebelumnya, sebuah benda berukuran luar biasa besar melayang. Di samping kanan kirinya, puluhan yang lebih kecil melayang turun.

“Itu Bohemia! Kapal perang raksasa milik Sanctifior!” teriak Leon, “Mereka pasti disini mengejar kita!”

“Kalau begitu kita harus segera pergi. Terlalu berbahaya tetap diam disini. Puluhan rhapsodos di atas sana akan membantai kita kalau kita segera menyeberang!” ujarku.
“Naiklah dahulu, Agatha!”

Tapi belum sempat aku membopong Agatha ke atas dragiva, sebuah sinar hijau yang manusia sebut tembakan plasma menyongsong kami. Kami didorong Leon menjauh. Ledakan menghancurkan tempat kami berdiri tadi. Kulihat rhapsodos melayang-layang dengan ganas dan kembali melepaskan pelor panasnya bertubi-tubi ke arah kami.

“Agatha!!!” aku segera menghampirinya. Untung dia tidak apa-apa. Leon dan Roush-Tala segera bangkit menghampiri. Roush-Tala membawa kami bersembunyi di salah satu puing. Kudengar erangan-erangan menyakitkan. Saat kutoleh, korban sudah banyak berjatuhan. Para pejuang yang selamat berusaha membalas tembakan rhapsodos dengan sihir bola api biru. Tapi terlambat, benda itu membuat semacam perisai tak kasat mata yang mampu menetralkan sihir.

“Ini tidak bagus!” teriak Roush-Tala pada pasukannya, “Kalian menyeberanglah dulu! Kaum kita di perbatasan sudah siap melindungi kita. Aku akan menyelamatkan mereka!”
Para pejuang elf yang membawa pengungsi mulai terbang menjauh. Tapi bukan berarti Sanctifior membiarkan mereka. Puluhan atau bahkan ratusan rhapsodos mengejar mereka. Pertarungan tak seimbang terjadi di atas langit antara grabetur Grahdan dan grabetur Phantosur. Banyak dragiva yang tumbang dan jatuh ke Samudera Emis, lautan tak terbatas yang berada di dasar permukaan planet kami. Aku yang masih belum berangkat tak kuasa melihat mereka dibantai begitu mudah.

“Saudaraku, ayo naik!” ujar Roush-Tala akhirnya dengan wajah masih terlihat tegar, “Kita juga harus menyeberang!”

“Mia, ayo!”

Aku mendadak menggeleng.

“Apa maksudmu?”

“Tidak, aku tak bisa!” ujarku sambil menatapnya, “Kau lihat sendiri kan, mereka begitu brutal. Kita takkan punya peluang selamat dari mereka! Sekali kita terbang, kita pasti akan ditembak jatuh!”

“Lalu apa? Kita diam disini dan menunggu serangan ini berakhir?”

“Tolong jaga Agatha. akan kucoba merapal sihir dari sini untuk melindungi kalian.”
Kulihat wajah pria di depanku terbelalak.

“Kau menyuruh kami meninggalkanmu? Kau gila!!! Tidak! Kau bisa merapalnya saat kita naik dragiva! Ayo!”

“Tidak bisa, Leon. Melodia hanya bisa dinyanyikan dalam posisi tenang.”

Sekali lagi Leon terlihat terkejut. “Ap… Apa maksudmu? Melodia?! Kau takkan bisa menyanyikannya, Mia! Jangan bodoh! Kau bukan ibumu. Lupakan ide gila itu dan segera naik kemari! Kita pasti bisa melaluinya! Roush-Tala penunggang yang hebat!” teriaknya lagi penuh putus asa. Tapi tekadku sudah bulat. Agatha harus selamat walaupun aku kehilangan nyawa. Aku tidak peduli dengan teriakan Leon lagi. Tatapanku kini berfokus pada Agatha.

“Agatha, ikutlah dengan Leon. Berjanjilah kau takkan mati disini!”

Gadis itu tidak menggeleng dan tidak juga mengangguk. Kupeluk erat dirinya sambil menangis. Aku bisa mendengar sesenggukan darinya. Kugendong dia dan kuserahkan pada Leon.

“Kau sudah menepati janjimu untuk melindungiku. Kini aku memohon padamu untuk tetap menepati janjimu melindunginya.”

Leon tak bisa bersuara lagi. Dalam dentuman dan rentetan senapan mesin yang tak terputus itu, dia hanya mengangguk. Kupeluk mereka berdua sambil menahan diri untuk tidak menangis. Tapi air mata tak kuasa menetes.

“Tuanku Roush-Tala,” ujarku terisak, “Tolong bawa mereka ke Phantosur! Aku yang akan melindungi kalian dari sini!”

Pejuang elf itu mengerti. Dia lalu membawa mereka menaiki dragiva. Leon masih belum bisa berkata-kata. Agatha-pun hanya bisa menangis sesenggukan. Dragiva mulai beranjak terbang. Aku tak bisa berhenti menangis.

Puluhan rhapsodos rupanya sudah mengincar Roush-Tala. Pejuang tua itu membentuk perisai sihir untuk melindungi mereka. Meskipun begitu, gempuran bertubi-tubi tampaknya menyulitkan pejuang itu. Aku tak perlu memperlama diri. Mereka juga mengincarku sekarang. Aku berusaha mengingat semua yang diajarkan Mama. Nyanyian sihir yang hanya boleh dilagukan di saat semua kesempatan sudah hilang.

“Nim eru nabis enum… Sanem mobus eni sarum…”

“Para divion agung yang bernyanyi mengikuti Sang Kehidupan”

“Dalam kerendahan hamba naphlm yang tak berdaya, aku meminta yang tak terkalahkan”

“Penuhi sumpah ksatria. Penuhi janji kepada Bapa Zenithian dan Ibu Asmirand”

“Duhai Putra Perkasa Odin, kau yang tak tertaklukkan di sembilan dunia”

“Aku mengharap kerendahan hatimu membantuku”

“Sin orum puris enem edin”


Aku merasa diriku dipenuhi cahaya. Saat aku menyadarinya, cahaya yang begitu terang itu mencuat dari tubuhku dan menghujam menusuk langit. Tiba-tiba saja angkasa yang tenang menjadi bergolak. Kulihat pusaran gelap muncul di atas kami, di atas para rhapsodos, dan di atas pesawat raksasa itu. Dari pusaran itu keluar sebuah lubang hitam besar. Sesaat aku takjub, inikah Melodia? Benarkah aku yang merapalnya?
Dari balik lubang itu, kudengar ringkikan yang sanggup memecahkan gendang telinga. Seekor kuda pucat berkaki delapan muncul dari lubang itu sambil menapaki udara kosong turun ke bumi. Di atasnya terdapat seorang penunggang berbaju perak yang membawa tombak terhunus di tangannya. Kuda itu berlari begitu kencang ke arah kapal-kapal berada dan meninggalkan jejak berapi di belakangnya. Terdengar suara berbisik di telingaku.

“Aku penuhi panggilanmu, pemuja Euwyr. Biarkan musuhmu tahu amarah dari Odin, sang pangeran divion!”

Suara sirene meraung dari arah pesawat raksasa itu. Semua rhapsodos bergerak menghampiri sosok yang mungkin sangat asing bagi mereka. Tapi saat mereka semua hendak menyerang, penunggang kuda itu melepaskan tombaknya.

Cahaya luar biasa terang seakan membutakanku. Kudengar gemuruh yang sangat dahsyat bagai ribuan petir di siang bolong. Kulihat cahaya itu telah membuat pesawat raksasa disana berlubang besar. Tombak Odin menembusnya hingga menghujam grabetur. Bohemia dan ratusan rhapsodos yang mengikutinya binasa dalam ledakan yang jumlahnya tak hingga. Langit biru pagi berubah menjadi bara lautan neraka.

Ledakan itu ternyata tidak berhenti begitu saja. Tombak Odin yang menembus Bohemia rupanya menghujam grabetur tempatku berada. Tanah tempatku berpijak bergemuruh. Muncul retakan di tanah yang semakin lama semakin besar. Aku tidak terkejut. Aku sudah menduga ini yang akan terjadi. Tanpa ada sedikitpun tenaga untuk bergerak, aku memilih duduk pasrah. Beberapa bongkah bebatuan berjatuhan dari ujung grabetur. Tanah yang kupijak pun ikut runtuh. Bagian ujung grabetur itu, bukit, hutan pinus, desa Ilina, dan juga diriku, semuanya terjatuh ke dalam Samudra Emis.
Dalam kejatuhanku, aku melihat dragiva terakhir meluncur dengan selamat menuju Phantosur. Dragiva yang dikendarai Roush-Tala yang membawa Leon dan Agatha. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Agatha akan selamat. Kucukupkan tugasku sampai disini. Biarlah jasadku ditelan dinginnya samudera, asalkan adikku bisa mendapatkan kebebasan di seberang sana.

(Tamat)

Baca selengkapnya......

Fantasy Fiesta 2010 : Anastasia

Peperangan seakan tidak berakhir di belahan dunia barat. Sejak President Leonid Rowen membagi Federation-II menjadi dua negara, Federation-III dan Republik Artorion demi menghindari pertengkaran kedua putranya, malah pertikaian yang timbul diantara dua kubu baru ini. Perang besar-besaran tanpa akhir terjadi selama seratus tahun hingga salah satu dari dua negara itu binasa.



Tapi detik-detik menjelang penentuan itu tampaknya segera tiba. Federation-III yang memiliki sekumpulan ilmuwan jenius di bawah pimpinan Dokter Ivan Strauss berhasil menciptakan alat pembunuh canggih yang tak bisa ditandingi oleh Artorion. Jengkal demi jengkal tanah Benua Eurel milik republik ini dicaplok satu demi satu oleh Federation-III. Gemuruh mesin perang Fed menapaki kota-kota Artorion hingga mereka tiba di batas terluar kota terbesar kedua negeri ini, Deurngart.

Pagi ini, langit Deurngart begitu murung. Sinarnya yang kelabu dihiasi bulir putih salju yang turun berjatuhan. Pemandangan yang begitu indah dalam lautan putih. Anastasia begitu menikmatinya dari balik selimut tebalnya. Dipandanginya salju-salju itu sebelum akhirnya tatapannya jatuh ke pria yang terlelap disampingnya. Pria dengan wajah yang begitu manis dan lembut, pria yang sungguh sangat berbeda dengan pria-pria lain yang pernah didekatinya seumur hidupnya. Pria itu telah, entah sejak kapan, menyita perhatiannya, perasaannya. Semua miliknya telah membuat Anastasia kehilangan akal, membuncahkan suatu perasaan yang begitu asing, spesial, yang tidak pernah gadis itu rasakan sebelumnya. Perasaan itu membuat jantungnya berdebar begitu mistis, membuat dia tidak mampu mengelak hasutan dari alam bawah sadarnya. Cinta, begitu sang pria memperkenalkannya kepada Anastasia.

Di atas ranjang ini, hanya berdua ditemani pagi bersalju, mereka saling berpelukan. Entah sejak kapan, Anastasia telah menghabiskan waktu yang begitu romantis dengannya. Dia bahkan hampir melupakan dunia nyata karena pria itu memberikan mimpi yang membawanya menuju dunia yang begitu menyenangkan. Dunia yang tak pernah dia kenal sebelumnya. Anastasia begitu betah disana. Dia tak ingin pergi.

Tapi roda kenyataan tak mau berhenti berputar. Tidak sampai sebuah pesan singkat datang menghampiri ponsel miliknya. Dia terhenyak. Terdiam bisu. Dirasakan aliran darahnya berhenti. Jantungnya tidak lagi bersahabat. Pesan itu menghadirkan kepedihan dalam wajahnya. Dia seperti baru dibangunkan ke dunia nyata. Bingung harus berbuat apa. Cukup lama dia merenung memikirkan tiap petak kata dalam pesan singkat itu.

Akhirnya dia memilih bangkit dari ranjangnya. Ditujunya kamar mandi, berharap kucuran air hangat mampu melarutkan padatan memori yang terekam antara dia dan pria itu. Anastasia berusaha sebisanya menghapus perasaan itu bersama air yang beriak turun, perasaan cinta yang tak seharusnya dimilikinya.

Membersihkan diri yang rupanya perlu waktu lebih lama dari biasanya akhirnya diselesaikan juga oleh Anastasia. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu lalu kembali menuju ranjang dimana pria idamannya berbaring. Anastasia seharusnya meninggalkan pesan. Tapi dia tidak melakukannya. Tujuannya adalah tempat dimana pria itu menaruh benda yang selama ini dicari oleh Anastasia. Sekeping kartu memori yang isinya sangat dirahasiakan pria itu, setidaknya sampai Anastasia memohon-mohon agar dia menunjukkannya. Pria itu bahkan berkata kalau isi kartu itu lebih berharga dari nyawanya. Anastasia sedikit trenyuh saat memikirkan dia hendak mengambil benda itu.

Dimasukkannya kartu memori itu ke dalam ponselnya. Pria di sampingnya ternyata masih terlelap. Begitu nyenyak setelah melewatkan satu malam penuh romantisme yang begitu menggelora. Anastasia mencium kening pria itu. Cukup lama karena kecupan itu adalah yang terakhir baginya. Dia tidak akan bertemu lagi dengannya. Sehancur apapun perasaannya, dia harus bisa meyakinkan diri bahwa semuanya sudah berakhir sampai disini.

“Dave…”, ucapnya pelan menyiratkan perpisahan. Dalam keheningan dia beranjak meninggalkan kamar itu.

---

Terlalu sulit rupanya melupakan Dave. Terlalu berat membuang kepingan-kepingan kenangan indah bersamanya. Perasaan cinta itu masih menggema dalam jantung hati Anastasia. Tidak bisa dia meninggalkannya begitu saja dalam kamar ini karena ruang demi ruang, lorong demi lorong, bahkan jalanan yang dilaluinya serasa menghantuinya. Mengejarnya, memaksanya menerima kembali cinta yang telah dibuangnya. Dia tak berdaya. Dave terlalu kuat untuk dilenyapkan dari hatinya.

Dalam keheningan bis kota itu, Anastasia hanya bisa berharap, andai saja dia bisa mendapatkan sebuah keajaiban. Ya, keajaiban! Awalnya dia tak pernah percaya keajaiban. Tak pernah sekalipun karena segala yang terjadi dalam hidupnya dilaluinya dengan perhitungan dan perencanaan. Tapi entah kenapa, segala ucapan Dave membuatnya meyakini hal itu. Segala janjinya tentang pernikahan, tentang hidup yang baru, hal-hal indah yang sekalipun tak pernah terlintas dalam benak Anastasia, telah membuat gadis itu percaya, juga berharap, keajaiban yang begitu luar biasa akan datang mewujudkan semua mimpi-mimpinya.

Sekarang dia berharap keajaiban akan datang memberinya kekuatan menghadapi pesan dalam ponselnya yang masuk bertubi-tubi.

Anastasia tiba di daerah pinggiran kota yang cukup sepi. Sebuah gedung tua menjadi tujuan langkah kakinya. Dia menuju ke atap gedung. Ke tempat dimana seorang pria paruh baya diam menunggunya. Cuaca masih bersalju. Bulir putih itu membatasi antara dia dan sosok berpakaian hitam necis di depannya.

“Kupikir kau sudah melupakanku, Anastasia?!”

Anastasia memandang sejurus ke depan. Pria itu melepaskan kacamata hitam yang dipakainya, memaksa Anastasia memahami siapa dirinya.

“Paul…”

“Kau tidak memberi kabar apapun!”

Anastasia terdiam. Tak ada kabar memang untuk Paul sejak cinta membutakan dia.

“Bagaimana bisa pria seperti dia membuat kau berpaling dariku? Jangan bilang kau sudah jatuh cinta kepadanya?”

“Tentu saja tidak!” Anastasia menolak semua kalimat berbau tuduhan walaupun sebenarnya dia tidak menyangkalnya.

“Kau kira aku tidak tahu?! Aku mengawasimu setiap saat! Aku sudah menyadari perubahan sikapmu, hari demi hari, kepadaku!”

Anastasia menunduk. Tapi dia sudah menduga cepat atau lambat Paul akan mengetahuinya. Pria itu menatapnya dingin dengan sinar matanya yang kelabu.

“Setidaknya aku sudah menyelesaikan tugasku dan datang kemari tepat waktu!” ucapnya berusaha membela diri.

“Memang begitu seharusnya!”

Anastasia lalu menyerahkan sebuah ponsel kepada Paul. “Semua data tentang Hy-Ca ada disana”, ucapnya.

Paul tersenyum miris. “Kuharap semua sikapmu bisa terbayarkan dengan ini.”

Dia lalu memanggil seseorang dengan ponsel miliknya. Dalam beberapa menit, sebuah WarBird, wahana terbang Federation-III yang menyerupai helikopter tanpa baling-baling, berderu-deru di ketinggian mencari tempat pendaratan yang tepat di atas gedung itu. Paul memandang kembali Anastasia, mencoba menduga perasaan apa yang tersimpan dari balik wajah datar gadis itu.

“Apa kita sudah bisa pergi sekarang? First Wave akan dimulai. Tentu saja kau tak ingin terlibat di dalamnya, kan?”

Anastasia membalas tatapannya. Paul tahu itu tatapan ketidakrelaan.

“Jangan katakan kau masih teringat pria itu dan tidak ingin pulang denganku!”

Gadis itu hanya menjawab ucapannya dengan melangkah menuju WarBird. Misi sudah dia tuntaskan. Urusannya disini sudah seharusnya selesai. Tapi haruskah dia melupakan Dave? Haruskah dia membuang semua perasaan cinta ini? Melupakan semua yang telah dilalui Dave bersamanya?

Dimana keajaiban-keajaiban itu?

“Tasya…?”

Suara yang terdengar tak asing menyapa telinga Anastasia. Gadis itu menjerit sesaat tanpa suara. Paul mengerling, dia terkejut saat mendapati kemana tatapan mata gadis itu pergi. Di hadapan mereka, seorang pria berdiri memandang Anastasia dan Paul dengan nafas terengah-engah.

“D…Dave…?”

“Anastasia, dia mengikutimu?” bentak Paul. Anastasia menggeleng tidak tahu, masih dengan tatapan tidak percaya karena pria yang dicintainya tiba-tiba ada disana.

“Bagaimana bisa warga sipil mengikutimu sampai sini?” geram Paul. Wajahnya menampakkan amarah luar biasa yang tertahan. “Kenapa kau bisa sampai begitu lengah?” bentaknya lagi sambil mendelik ke arah Anastasia. Gadis itu hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Paul memandang pria di depannya.

“David Sinclair. Pemikir terpenting dan salah satu pemilik Artorion Industrial Complex. Sungguh suatu kehormatan bersedia mengantar kepergian salah satu rekan kami.”

“K…kau? Tasya, si…siapa dia…?” ucap pria itu ke arah Anastasia dan Paul bergantian dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Dave… maaf…”, isak Anastasia pelan.

“Ada apa ini? apa yang terjadi?” ucap Dave lagi, kebingungan. Anastasia tak mampu menjawab pertanyaan penuh tanda tanya itu. Dia menatap Paul yang masih terlihat geram. Pria itu lalu berkata lagi, “Anastasia adalah bagian dari kami, pasukan elit Cobra, divisi khusus Federation Army. Dia kukirim untuk mendapatkan informasi terbaru tentang pengembangan senjata rahasia kalian, Hy-Ca Project. Dan sekarang, berhubung misinya sudah selesai, dia harus ikut kami kembali.”

“Ap…Apa…?!” suara Dave tercekat, antara ada dan tiada. Seperti rasa percayanya yang juga berada diantara ada dan tiada.

“Tasya… kau… mata-mata Fed?”

Anastasia masih tidak menjawab pertanyaan itu. Hanya sedikit gerakan tak jelas di ujung bibirnya yang kaku.

Jadi… karena ini… kau memintaku menunjukkan berkas Hydrogen Cataclysm padamu… Sungguh, a…aku tak menyangka…”

“D...Dave…”

“Padahal… aku mencintaimu, Tasya! Kuberikan semua yang kumiliki, bahkan semua yang lebih berharga dariku, kepadamu! Kenapa kau membalasnya dengan ini…? Semua kebohongan ini…?” rintih Dave tercekat. “ Jadi, semua cintamu padaku itu palsu…? Semua itu hanye demi Hy-Ca? Betapa kau setega ini…?”

Anastasia tak bisa menjawab lagi, tubuhnya bahkan terlalu lemah untuk digerakkan. Dia seakan limbung, kehilangan pegangan. Dia seperti tengah jatuh ke dalam pusaran keputus-asaan. Dave sudah mengetahui rahasia terbesarnya dan dia terlihat begitu terpukul. Anastasia merasa hatinya sangat sakit karena telah membohongi pria yang begitu dicintainya. Matanya hanya bisa lekat-lekat menatap ke tanah, berair. Dia menangis dalam kebisuan.

Paul merasa waktunya mengakhiri sandiwara ini. Dia lalu memberikan kode, gerakan tangan, yang disambut dengan antusias oleh beberapa sosok yang tadi tidak tampak oleh Anastasia dan Dave. Gadis itu terkejut saat mendapati sekitar delapan sniper bersiaga di gedung yang berderet di sekitarnya. Bahkan belum sempat dia memalingkan tatapan matanya kembali kepada Dave, seorang gadis muda dengan pakaian serba hitam sudah menodongkan senjata ke arah pria itu.

Tiba-tiba Anastasia menyadari Paul tidak bisa diajak main-main.

“Kumohon… Paul, jangan! Dia tidak bersalah! Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau! Jangan bunuh dia!”

Paul tidak menggubrisnya. Matanya yang dingin kelabu menatap pria itu dalam-dalam. Dia berujar pada gadis di samping Dave, “Rebecca, bunuh dia!”

“Jangaaa…n!!!”

Rebecca siap melepaskan tembakan sebelum tiba-tiba sebuah teriakan histeris keluar dari mulut Anastasia. Sebuah gelegak jiwa yang begitu mengejutkan, yang sungguh tidak disangka oleh Paul bisa lepas begitu saja dari mulut seorang pasukan elit yang seharusnya sudah tidak punya perasaan emosional lagi. Dia semakin terkejut saat menyadari Anastasia sudah mengarahkan senjata ke wajahnya. Begitu tangkas dan cekatan, sebagaimana seharusnya Cobra.

“AP… APA MAKSUDMU, ANASTASIA???” Paul tidak menyangka, “Kau menodongkan pistol ke arahku? Kau membelanya? Jadi kau benar-benar memiliki perasaan padanya!?”

Semua yang melihat kejadian itu terkejut. Tiba-tiba puluhan titik merah kecil langsung muncul membayangi dada Anastasia. Titik merah itu berasal dari laser pembidik milik sniper yang siap menembaknya apabila ada satu saja hal bodoh yang dilakukan gadis itu.

“Kau melakukan hal yang sia-sia, Tasya! Aku sangat kecewa! Selama lima tahun kau kudidik menjadi spesialis pengintaian dan ini yang kudapatkan darimu?! Kau seorang senior, panutan, tapi malah jatuh cinta pada sasaranmu sendiri? Hal yang sungguh, sungguh, sangat memalukan!!! Kau mencoreng nama baik Cobra, Tasya! Kau tahu itu?!”

“Dia tidak bersalah! Biarkanlah dia pergi. Setelah itu, kau boleh melakukan apapun padaku…,” ujar Anastasia memelas.

“Kumohon…”

“Bodoh! Sungguh aku tak mengira kau akan bertindak sebodoh ini! Kau melakukan dua kesalahan besar, membiarkan pria itu mengutitmu hingga membongkar kedok kita dan kau jatuh cinta padanya sampai nekad menodongkan senjata kepada mentormu sendiri! Sekarang sebelum kau berbuat hal yang lebih bodoh, turunkan senjatamu!”

Anastasia tidak bergeming. Tekadnya kuat. Dia tak akan mendengarkan perintah Paul sampai pria itu membebaskan Dave. Tak akan!

“Dengarkan aku, Tasya. Pria itu sudah membongkar kedok kita. Kita tentu tak bisa membiarkan dia hidup bukan?”

Anastasia tetap tak bergeming. Pistol yang dicengkeramnya tetap mengarah ke jidat Paul.

“Sayang sekali, Anastasia! Sayang sekali!”

Sekilas Paul seperti sedang mengerling, sebuah kode yang luput dari perhatian gadis itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman senjata berperedam, yang meskipun lirih, mampu didengar oleh telinga Anastasia yang peka. Dia tidak sempat mencari tahu apa yang terjadi saat sebuah peluru yang melaju sangat cepat mendarat di rusuknya. Gadis itu menjerit tertahan. Peluru itu mendorongnya hingga terhempas kuat. Dia terseret beberapa meter ke samping. Terkapar tidak berdaya. Pistol yang dipakainya untuk menodong Paul tadi terlempar entah kemana.

Paul menggeleng lemah. Untuk beberapa saat, Anastasia terbatuk-batuk. Darah mengalir dari mulutnya. Namun dia menguatkan diri untuk kembali bangun. Dia mengira dirinya sudah mati saat menyadari jaket anti peluru yang dipakainya tadi telah menyelamatkan nyawanya.

“Terlalu sayang membunuhmu…” pandang Paul pada gadis itu. “Jadi tolong menurutlah padaku!” Dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Rebecca.

“Tak usah menunggu lama, Becca! Bunuh dia!”

Anastasia menatap Rebecca tidak berdaya. Dia tidak sudi Dave mati. Ingin rasanya berlari menjangkau gadis itu dan menahan gerakan tangannya. Menghentikan waktu kalau saja mampu.

Dia berharap keajaiban muncul saat ini!

Doanya terkabul.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring sirene dari kejauhan yang meraung-raung di seluruh pelosok kota. Semua yang hadir disana terperangah mendengar suara itu. Rebecca membatalkan niatnya menembak, dia menatap Paul penuh tanda tanya. Pria tua itu seketika menyadari sesuatu dan menggerutu perlahan.

“First Wave…?!”

Entah berapa puluh benda hitam bergerak muncul dari langit putih mengiringi suara sirene yang sangat mengganggu itu. Benda berbentuk bumerang dengan lambang rajawali berkepala dua di perutnya menderu-deru di atas langit berselimut salju. First Wave, pertanda dimulainya gelombang pertama serangan terbuka pihak Federation-III atas Republik Artorion di Deurngart. Ada sesuatu yang terbuka dari balik perut benda terbang itu, yang menjatuhkan ratusan benda-benda berbentuk tabung oval ke arah bumi. Sebuah bom.

Dalam sepersekian detik ke depan, ledakan berhamburan dimana-mana. Bom itu menghantam jalanan, gedung, mobil-mobil, dan manusia malang yang berhamburan panik lalu meledakkannya. Reruntuhan gedung berjatuhan menimpa siapapun di bawahnya. Teriakan histeris makhluk malang yang tak menyangka akan terjadi serangan dadakan muncul dimana-mana. Seisi kota bergemuruh seperti terserang gempa bumi. Sebuah panorama neraka yang dihadirkan Federation-III di kota ini.

Itulah keajaiban yang diberikan Tuhan kepada Anastasia. Sebuah kesempatan yang tak mau dia sia-siakan. Di tengah hiruk-pikuk ini, disaat Paul dan Rebecca lengah, disaat para sniper berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing, dia mengambil pistol cadangan yang disimpannya untuk saat-saat genting. Dilepaskannya tembakan dengan sudut presisi tinggi, suatu keahlian yang dia dapat dari Paul, ke arah genggaman pistol Rebecca. Sontak, benda itu terpelanting dari tangan Rebecca. Paul dan Rebecca yang begitu terkejut terlambat menyadari kalau Anastasia sudah begitu dekatnya dengan Rebecca. Satu pukulan telak membuat gadis itu terpelanting jatuh.

“Dave…”, Anastasia langsung menghampiri kekasihnya setelah memastikan Rebecca cukup tidak berdaya. Tapi siapa sangka, Dave malah bergerak mundur sambil menggeleng pelan. Anastasia melihat amarah, ketakutan, sekaligus ketidakpercayaan di wajahnya. Dave ternyata sudah menganggap dirinya berubah menjadi sesuatu yang tidak bersahabat baginya. Anastasia tertegun. Dia berteriak mengucapkan sesuatu. Semacam kata maaf. Semacam permintaan untuk diberi kesempatan menjelaskan segalanya. Tapi suara-suara itu hilang bersama gemuruh reruntuhan dan ledakan bom. Bahkan air mata yang mengalir deras dari wajah Anastasia seakan tertutup oleh bulir-bulir salju dan ledakan-ledakan yang hingar bingar diantaranya.

Dave serasa sudah mengabaikannya. Pria itu tidak mengindahkan tatapan bersalah gadis itu. Dia membelakanginya dan berlari pergi, meninggalkan gadis yang pernah dia cintai tertegun dan menangis.

Anastasia tak tahu harus berkata apa.

Dave jelas-jelas sangat kecewa dengannya!

Dave telah meninggalkannya!

Anastasia menjerit kesakitan. Dirundung kekecewaan dan amarah, dia melepaskan tembakan membabi buta ke segala arah. Dia kehilangan kendali, putus asa seperti orang yang telah kehilangan segalanya. Sinar matanya menghilang. Rasa bersalah telah menggerogoti dirinya dan menghancurkannya. Dihujatnya semua yang telah dia lalui. Dihujatnya keajaiban yang tak bisa membawanya kembali dalam mimpi-mimpinya dulu.

Amarah membuat Anastasia tidak menyadari kalau Rebecca baru saja melepaskan tembakan ke arahnya. Pelor panas menghantam pundak gadis itu. Matanya nyalang menyiratkan perih. Dia menjerit, terkejut kelengahannya membawa bencana baginya. Dia berhenti menembak. Tatapannya beralih ke gadis yang mengarahkan pistol ke wajahnya.

“Begini sikapmu terhadap kakakmu sendiri…?”

Rebecca tidak berkata apa-apa meskipun Anastasia tahu ada kesedihan di balik wajah datar juniornya itu. Pandangan mata mereka bertemu, mata hijau dingin Anastasia dan mata biru beku Rebecca. Ada pertikaian dari tatapan mereka. Pertentangan. Rasa tidak percaya. Rasa harus kehilangan.

“Kakak yang membuat semuanya menjadi begini!”

---

Ledakan demi ledakan menghujam Deurngart. Serangan dadakan Federation-III telah meluluhlantakkan infrastruktur kota ini. Reruntuhan yang terbakar dengan asap hitam yang mengepul tanpa ampun menghiasi langit bersalju yang muram. Bangunan-bangunan tinggi kehilangan keagungannya, hampir semua rata dengan tanah. Mobil-mobil tergeletak hangus. Jalanan dipenuhi lubang-lubang besar. Ribuan warga sipil, dengan berbagai macam kondisi yang mengenaskan, mati terkapar. Beberapa tertimbun reruntuhan, ada yang terkena ledakan, atau terjepit dalam kendaraannya sendiri. Tak ada yang tersisa juga dari gedung tempat konflik tadi berada. Bangunan itu, dan juga gedung-gedung di sekitarnya, runtuh setelah menerima empat-lima kali serangan bom. Sebuah WarBird tampak teronggok di salah satu reruntuhan, kendaraan yang dipakai Paul untuk menjemput Anastasia telah hancur.

Salju putih tetap saja setia turun. Saksi bisu dari sebuah cinta yang harus kandas. Pengingkaran yang tak termaafkan, kekecewaan tak berujung, dan kisah tragis yang tak terlupakan. Setiap teriakan, hujatan, dan air mata yang tumpah terekam baik-baik dalam tiap bulir salju itu. Menumpuk menyatu menjatuhi kota yang tiba-tiba senyap. Sesenyap matahari siang yang tak mau menampakkan diri dari balik mendung pekat.

Di salah satu reruntuhan itu, seorang pria tertegun putus asa. Kemelut wajahnya menggambarkan ketidakpercayaan kalau semuanya harus berakhir seperti ini. Dia telah kehilangan segalanya. Tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana. Semua amarah yang tadi dia rasakan seakan menguap. Lenyap setelah melihat tubuh gadis yang pernah mencintai dan mengkhianatinya, tergeletak kaku di depannya. Lubang penuh darah di dahinya yang mengantarnya menuju keabadian. Anastasia telah pergi dengan meninggalkan wajah penuh kesedihan dan rasa bersalah yang tak terampuni. Ingin Dave menangis, tapi tidak bisa karena hatinya terlanjur sakit. Kepedihan itu menghalanginya bersimpati. Kerisauan dan kekecewaan, mengapa semua harus terjadi?

“Benar-benar menyebalkan, sungguh!”

Tiba-tiba terdengar suara menggema di telinga kirinya. Dave menyadari sesosok pria lain sudah berdiri tegak di sampingnya.

“Kamu telah berhasil mengacaukan segalanya, Tuan Sinclair!”

Dave melihat seorang pria paruh baya dan ujung pistol yang jaraknya hanya sepersekian senti dari wajahnya. Pria itu menggeram. Suara dentuman tembakan tiba-tiba terdengar mengiringi sebuah peluru yang bergerak cepat menuju wajahnya. Menembus otak pria muda itu. Menceraiberaikan isi kepalanya ke atas salju putih. Dave mati seketika. Tubuhnya jatuh menimpa kekasihnya sendiri. Dua sejoli yang sama-sama pernah mencintai dan dikhianati itu akhirnya tiada.

Paul memandang Rebecca sambil menghela nafas kekecewaan yang rasanya terlalu besar. Sebuah WarBird lain sudah datang menderu-deru di atas udara, menjemput mereka keluar dari neraka itu. Second Wave, serangan darat besar-besaran, akan segera tiba, Paul tak ingin berlama-lama disana. Sudah cukup baginya kehilangan satu orang gadis yang sangat dia andalkan. Tatapan pedih tergambar di wajahnya saat menyaksikan tubuh Anastasia yang mulai tertutup salju hingga WarBird membawanya semakin menjauh dari jasad gadis itu.

Demi Hy-Ca Project, Cobra kehilangan sembilan orang terbaiknya. Anastasia serta delapan sniper yang tertimpa reruntuhan dinyatakan Missing in Action. Hy-Ca Project dikembangkan oleh Dokter Strauss menjadi bom pemusnah massal pertama di dunia yang digunakan Federation-III menghantam Bargandy, Ibukota Artorion, dan memaksa negara itu menyerah telak. Bom ini lalu dikembangkan lagi oleh Ascott, penerusnya, menjadi senjata paling mengerikan andalan invasi Federation-IV ke seluruh penjuru dunia, KOMET.

---

Baca selengkapnya......