Sabtu, 12 Februari 2011

NOVA - act. 1 : Meeting

Act 1 : Meeting

Alcyon Verrel
Pesawat Induk Utama Juggernaut, Armada Red Raccon
System Diomedes
15:45 waktu pesawat

Entah kenapa, setiap kali aku memandang gadis yang tertidur disana, rasa nyaman selalu mengganggu diriku. Ada perasaan yang hilang muncul kembali. Wajah yang begitu tegas, namun menenangkan, berputar kembali seperti jalinan film masa lalu. Kepingan kenangan yang membawaku kembali teringat akan masa-masa itu. Wajah cantik yang tak asing lagi. Aku seakan tak percaya dia akan berada disini dan kami akan sedekat ini.

“Ya?” aku sedikit terkejut saat ada seseorang menyentuh pundakku. Lamunan rupanya membuatku tak menyadari Oscar sudah disampingku.

“Sudah lama Anda duduk disini?”

Aku tersenyum seraya mengangguk kecil. Kututup buku yang tadi kubaca seraya menerima laporan dari Oscar. Tertulis banyak istilah kedokteran di epad ini dan semuanya menjelaskan kondisi terakhir gadis di depanku. Dengan tatapan bertanya aku memandang Oscar. Pria tua itu tersenyum.



“Seluruh tubuhnya sudah sembilan puluh persen pulih. Anda tidak perlu terlalu khawatir dengannya.”

“Sudah delapan belas jam berlalu sejak proses regenerasi tubuh. Kurasa dia sudah lebih baik sekarang. Sungguh teknologi yang luar biasa.”

“Begitulah, tapi pemulihan organ cukup rumit prosesnya, dua puluh delapan jam dalam tabung dan cairan katalisator, teknologi nano, revitalisasi jaringan, dan komputer organik...”, pria itu memandang gadis di depannya, “yang terpenting, dia masih bernyawa. Semua teknologi itu tak ada artinya bila dia mati. Dan kurasa mukjizatlah yang masih membuat jantungnya berdetak dalam kondisi kerusakan fisik dan trauma seperti itu.”

Aku mengangguk sambil mengikuti arah tatapannya.

“Sungguh tak kuduga Zakhon akan kembali melancarkan serangan terhadap koloni kita. Dalam sekejap mereka sudah menduduki Sistem Celesta, dan tak ada satupun Armada Galatia yang bertindak.”

“Mungkin karena invasi itu begitu mendadaknya dan tak terduga sampai Armada Galatia terpukau dan tak mampu berbuat apa-apa. Lagipula Kep (singkatan untuk Kapten), kita tahu sendiri kan sikap mereka terhadap Lingkar Luar?!”

Aku hanya mengangguk kecil. Tatapanku tidak beralih pada gadis yang terbaring tenang itu. Cukup lama aku menatapnya sampai tak sadar pria tua disampingku melihatku lagi.

“Apa yang begitu spesial dari gadis ini? Dari kemarin Anda begitu memperhatikannya.”

Aku tersenyum. “Dia kawan lama...”, tukasku singkat.

“Berarti dia pasti mengenal Anda!”

“Mungkin ya mungkin saja tidak, Oscar...”, jawabku, “Pertemuan kami hanya dalam medan perang Ragnarok. Aku infanteri mechron sedang dia seorang medis. Itu sudah lima tahun yang lalu. Mungkin dia sudah lupa.”

Pria itu manggut-manggut

“Mungkin perlu waktu setidaknya satu hari bagi dia untuk tetap tidur di bangsal hingga semua bagian tubuhnya benar-benar pulih total.”

“Ngomong-ngomong, butuh waktu berapa lama lagi hingga dia sadar?”

“Dia sudah tertidur cukup lama. Mungkin satu jam lagi, bila kondisi semuanya normal, dia akan terbangun. Bila Anda masih menungguinya disini, bagus juga bila nanti Anda mengajaknya ngobrol. Kondisi mental pasien akan lebih cepat pulih bila dia Anda ajak bicara.”

“Kau benar. Terima kasih”, tukasku tersenyum. Sesaat kemudian pria tua itu memohon diri. Tinggal kami berdua saja di ruang pasien ini. Saat pria itu keluar, aku melihat beberapa dokter dan perawat di bawah asuhan Oscar tampak hilir mudik sambil membawa berbagai kebutuhan obat-obatan untuk para pengungsi. Cukup banyak pengungsi yang kami selamatkan dari Hosperia. Walaupun menurut Oscar, itu hanya sedikit dari sisa populasi yang ada.

Aku kembali memperhatikan gadis itu. Sampai sejak saat Oscar datang tadi, aku terus mencoba-coba mengingat namanya. Aku sendiri heran bagaimana bisa melupakan nama gadis yang begitu berkesan seperti dia. Memang kalau dipikir, kita tidak pernah berbicara saat di medan perang. Paling hanya sekali dua diantara gemuruh bom. Lagipula tentu saja yang dibahas bukan soal menarik selain tentang bagian tubuh mana yang terluka dan hancur. Dia seorang medis. Kalau aku memakai mechron, dia menggunakan medivac, mechron khusus untuk pasukan medis. Tugasnya menyembuhkan para mechron yang terluka dan membawa mundur mechron yang hancur.

Tiba-tiba terlintas seberkas nama di pikiranku. Sarah! Ya! Itulah namanya! Aku mengangguk kecil sambil tersenyum puas. Sarah Fleuret. Aku bisa mengingat nama itu saat dia memperkenalkan diri ketika acara briefing di KroniR. Dia masih sembilan belas tahun. Gadis yang begitu tegas dan berani. Kadang kalau dipikir, seandainya dia bisa sedikit kalem, dia akan tampak begitu anggun. Tapi kondisi kami tidak memungkinkan dia berlaku seperti itu.

Ratusan kepingan-kepingan kenangan yang mendadak muncul begitu menarik untuk dibahas. Bertemu kawan lama seperti bernostalgia dengan masa lalu. Reuni yang hangat. Terutama bila orang itu adalah gadis yang begitu spesial. Seseorang yang pernah mengusik hatimu.

***

Sarah Fleuret
Pesawat Induk Utama Juggernaut, Armada Red Raccon
System Diomedes
16:30 waktu pesawat

Pikiran membawaku kembali pada Koloni Imparis. Pada serangan alien yang begitu mengerikan. Pada benda seperti ubur-ubur yang jatuh berhamburan seperti hujan api dari atas langit. Pada makhluk seperti kera dengan lendir menjijikkan. Pada orang-orang yang berlarian tanpa arah mencari keselamatan. Pada pesawat penyelamatyang tiba-tiba berangkat tanpa sempat menunggu kami sesaat. Pada Aisha yang kubawa dalam kursi roda. Pada puluhan ledakan dan gedung yang runtuh dimana-mana. Pada saat aku kehilangan pegangan lengannya ketika sebuah ledakan memisahkan aku dan Aisha.

Itulah saat terakhir aku bersama adikku, sebelum akhirnya Osmo menyadarkanku di suatu ruang bawah tanah.

Pikiranku melayang semakin jauh. Lima tahun yang lalu. Aku terbayang akan Ragnarok. Tentang ceceran darah dan jeritan pilu dimana-mana. Aku terbayang akan kuburan ayah ibuku. Kuburan tanpa nisan. Orang tuaku yang dikubur bersama-sama korban Ragnarok yang lain di sebuah lapangan luas. Mereka meninggalkan kami sendirian. Aku dan adikku yang lumpuh.

Tapi Aisha, meskipun dia tidak berdaya. Dia lebih tegar dari aku. Matanya yang biru tulus, memberiku kekuatan saat menghadapi kerasnya kehidupan. Aku bangga padanya. Selain begitu kuat, Aisha juga sangat cantik. Bila dibandingkan dengan aku yang mirip ayah, tegas dan keras. Aisha malah mirip ibu, lembut dan penyabar. Entah bagaimana aku bisa melalui hidup yang sulit ini kalau tidak ada dirinya. Perusahaan ayah yang bangkrut meninggalkan begitu banyak hutang. Ragnarok mempersulit segalanya. Ditambah biaya pengobatan Aisha yang begitu mahal. Kadang aku menangis dalam kesunyian karena aku malu bila tangisku didengar Aisha. Dia lebih menderita dariku, tak pantas rasanya bila aku berbagi kesusahan ini dengannya.

Dan kini, aku tidak tahu bagaimana nasib Aisha yang begitu kulindungi? Apa dia berhasil ikut rombongan evakuasi? Atau dia tertinggal di Imparis? Tapi, dengan kondisi seperti itu, mampukah dia mencapai pesawat penyelamat?

Selamatkah dia? Masih hidupkah dia? masihkah dia di atas kursi rodanya? Karena kalau tidak, dia pasti akan terduduk tak berdaya. Kalau sudah begitu, mampukah dia menghindar dari terjangan monster-monster itu? Sarah bodoh! Menjaga adiknya sendiri tidak mampu. Kakak macam apa aku ini? Sungguh memalukan! Sekarang saat aku mati, bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua itu kelak di hadapan ayah ibu?

Pikiranku membimbingku pada kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau para makhluk biadab itu berhasil menangkapnya?

Bagaimana saat Aisha harus berhadapan dengan salah satu dari mereka?

Tusukan monster itu begitu menyakitkan. Akankah Aisha mengalaminya?

Apakah dia juga mengalami rasa sakit yang menyayat, amat sangat, seperti saat aku dicabik-cabik mereka?

Tunggu, haruskah dia dirobek-robek juga hingga ususnya terbuai?

Dia tidak bisa lari. Dia tidak akan mampu berteriak. Tidak akan ada yang menolongnya.

Aku teringat mata biru yang lembut itu lagi. Aku teringat senyum tulusnya. Aku merasa begitu bersalah padanya, pada ayah ibu.

Aisha, maafkan aku. Aku yang bersalah tidak bisa menjagamu. Tolong, maafkan aku.

Ayah, ibu, maafkan anakmu ini.

Hangat, aku bisa merasakan air mata menetes di pipi. Seketika aku mendapati jantungku masih berdenyut. Tanganku masih bisa bergerak. Aku membuka mata perlahan. Apakah aku sudah di surga? Ayah dahulu sering bercerita tentang surga. Tempat tujuan orang baik yang sudah meninggal. Penglihatanku yang masih buram mencoba mencari tahu bila tempatku tertidur ini adalah surga. Inikah saatku bertemu dengan orang tuaku?

“Di... dimana ini?” ujarku pelan saat kudapati aku masih bisa bersuara. Kukerjapkan mataku berkali-kali agar pemandangan yang kulihat tidak lagi buram. Kudapati kumpulan selang plastik dan beberapa komputer berjejer di sampingku. Suara bip terdengar berulang kali dalam interval yang sama tertangkap telingaku. Aku menjadi tak yakin kalau ini surga. Ayah tidak pernah menceritakan surga dipenuhi selang plastik dan komputer-komputer. Jadi, apa aku masih hidup?

Seorang pria muda yang kudapati sibuk membaca buku tengah melangkah ke arahku.Mendekatiku. Wajahnya seperti tak asing. Dia cukup tampan dengan rambut peraknya yang panjang dan diikat ekor kuda.

“Kau sudah sadar?” tukasnya saat melihatku bangun, “sebentar, akan kupanggilkan perawat.”

Dia pergi keluar. Aku masih berusaha menangkap apa yang terjadi. Kulihat perutku, bagian tubuh yang seharusnya sudah terburai, sekarang sudah utuh. Kulihat kaki kananku yang hancur, sekarang juga sudah kembali utuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih hidup? Atau dunia orang mati itu seperti ini?

“Syukurlah, kau masih hidup”

Kulihat pria tampan tadi sudah ada di sampingku bersama seorang perawat. Sementara para perawat masih sibuk bekerja, pria itu duduk kembali di tempatnya semula.

“Dimana aku?” tanyaku lagi padanya.

“Kau aman bersama kami di Juggernaut. Kami menyelamatkanmu saat para Locus hendak menghabisimu.”

“Aku... dimana?”

“Juggernaut. Kapal induk Juggernaut. Armada Red Raccon. Kau pernah dengar?”

Seketika aku teringat sesuatu. Pria di depanku itu. Sekarang aku mengenalnya.

“Al... Alyson...”

“Alcyon Verrel...”, balasnya sambil tersenyum,”Senang kau bisa mengingatnya.”

Benar. Itu namanya! Aku melihatnya bolak-balik di UNN maupun di siaran berita lain. Di Uninet maupun di seluruh surat kabar manapun. Terpampang dalam ukuran besar, dengan tulisan ‘Dicari’.

“Kau... Alcyon Verrel, pimpinan pemberontak separatis terhadap Persemakmuran Galatia! Kau yang dicari tentara persemakmuran dan dihargai lima juta Credits...!” tukasku sambil mundur beberapa senti ke belakang saking terkejut. Tapi tubuhku yang masih lemah sulit diajak bekerjasama.

Kalau dia Alcyon, seperti yang diberitakan di UNN, maka dia adalah pria biadab keji yang tak pernah mengenal ampun terhadap warga sipil sepertiku. Pernah kudengar di UNN dia suka menculik warga sipil untuk dijual di pasar gelap galaksi. Apakah dia akan melakukan hal sama padaku?

“Me...mengapa kau me...menolongku?” tanyaku ketakutan, “Apa kau mau me... menjualku?”

Pria itu tersenyum lagi. Dia berdiri mendekat ke arahku.

“UNN terlalu membesar-besarkan. Aku tidak seburuk itu”, tukasnya. “Kebetulan kami sedang melalui Lingkar Luar. Kudengar Zakhon tengah bergerak menuju Celesta. Jadi kami saling berkejar-kejaran. Sayang kami kalah cepat. Zakhon sudah memusnahkan segalanya saat kami mencoba menyelamatkan penduduk di koloni. Beruntung, dirimu salah satu yang berhasil kami selamatkan.”

“Be...betulkah?” ucapku agak tidak percaya. Orang jahat biasanya suka ngomong licik. Nada bicaraku yang sinis membuat dia tersenyum getir. Aku bisa melihat ekspresinya.

“Para ilmuwanku berhasil meregenerasi tubuhmu yang hancur. Untunglah sampai dibawa kemari jantungmu masih berdetak. Kau mengalami... apa ya istilahnya, koma.... Sungguh suatu mukjizat mendapati kau masih hidup walaupun tubuhmu berantakan. Dengan berbekal jantung yang masih berdetak itu kami memulihkan dirimu.”

Aku memandangnya terheran-heran. Benarkah yang dia katakan?

“Me... mengapa... maksudku, terima kasih sudah berbuat begitu banyak bagiku”, ujarku menatap wajahnya. Dia tersenyum.

“Mengapa kami menolongmu? Mungkin karena panggilan moral... Kau tahu? Kita sama-sama Gaian!”

Aku tersenyum sambil masih keheranan. Benarkah gerombolan pemberontak yang digembar-gemborkan terkenal anarkhis itu telah berbuat sedemikian baik bagiku dan koloni? Aku belum sepenuhnya percaya.

“Aku Alcyon Verrel, uhm, kau sudah tahu ya... Siapa namamu?”

“Aisha...”, mendadak terbersit wajah adikku di otakku. Aku sampai tak sempat fokus menjawab pertanyaannya.

“Aisha? Bukannya Sarah?”

Huh? Dia bilang Sarah? Entah aku yang salah dengar atau dia mengucap namaku dengan benar. Tapi, mustahil dia mengetahui namaku? Kami belum pernah bertemu.

“Apa kau bilang tadi?” tukasku memastikan.

“Tidak... Tak apa!” timpalnya sambil tersenyum lagi. Sial, bajingan seperti dia begitu murah senyum. Tampan lagi! Kuyakinkan diriku kalau aku memang salah dengar.

“Oke. Tadi kau bilang, kau menyelamatkan orang-orang Koloni Imparis juga? Selain aku?”

Dia mengangguk.

“Apa... kau bertemu adikku? Na...namanya Aisha... dia menggunakan kursi roda. Dia cacat...” tanyaku penuh harap. Dalam hati aku sembari berdoa, semoga Aisha memang benar-benar berhasil ikut rombongan pesawat penyelamat dan berhasil berada di tempat yang sama denganku.

“Tunggu sebentar!” Kulihat pria itu bergegas keluar, mungkin sedang mencari info tentang adikku. Kembali, keraguanku muncul ke permukaan. Pria itu, tidak sejahat yang dibicarakan orang! Atau dia masih sedang bersandiwara sekarang?

Pria itu datang lagi sambil membawa sejenis epad. Berkali-kali dia menyentuhkan tangannya di layar touch screen. Wajahnya yang begitu tenang membuatku tak bisa membaca isi pikirannya. Berhasilkah adikku ditemukan?

Nyatanya dia menggeleng.

“Tidak ada nama Aisha disini.”

“Aisha Fleuret... Coba cari nama keluarga kami, Fleuret!” tukasku lagi sedikit memaksa. Pria itu mengangguk sambil kembali sibuk dengan epadnya.

Tolong, jangan bilang kau tak menemukannya!

“Maafkan aku...”

“Bolehkah aku pegang...?” pintaku. “Mungkin aku bisa menemukannya...”

Dia memberikan epad padaku. Dengan penuh semangat dan perasaan was-was aku melihat satu-persatu wajah disana. Ada sekitar dua ribu rekod yang harus diperiksa. Dengan tekun kucari Aisha. Pria itu hanya diam saja sambil kembali ke kursinya. Aku terus mencari.

Seperempat jam aku mencari tapi akhirnya nama Aisha Fleuret, begitu pula foto dirinya, tidak berhasil aku temukan. Tubuhku yang masih belum kuat sepenuhnya langsung melemah. Kurebahkan diriku di atas bantal yang empuk setelah rekod terakhir kuperiksa. Pandanganku menerawang di langit-langit ruangan..

Aku sampai pada kesimpulan, adikku tidak ada di pesawat ini! Dia masih menghilang.

“Tidak ada disana bukan berarti dia tidak selamat.”

Pria itu sudah berdiri disampingku sambil mengambil kembali epadnya. “Mungkin dia berhasil bersembunyi di suatu tempat yang aman di Imparis.”

“Aku tak seyakin itu. Dia lumpuh. Lumpuh akibat Ragnarok! Aku yang seharusnya menjaganya... Aku... aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri kalau dia mati...”

Kutundukkan muka. Sekelebat bayangan tentang adikku perlahan muncul lagi di permukaan. Mataku memanas. Serasa air mata mengalir di pipi. Aku mulai menangis lagi. Pedih rasanya tidak bisa menjaga amanat terakhir orang tua, menjaga Aisha.

Seorang pria berkulit hitam dan tubuh yang gempal memasuki ruangan. Alcyon menoleh ke arahnya. Pria itu menginformasikan sesuatu kepada Alcyon diikuti anggukan paham dari pria itu. Dia lalu pamit pergi setelah sebelumnya menyempatkan melirik kepadaku.

“Pria tadi adalah Neil. Dialah yang bertanggung jawab mengendalikan kapal ini. Neil bilang kami sudah sampai di tujuan kami.”

“A...Aku juga ingin pergi...”, tukasku cepat. “Aku harus kembali ke Imparis mencari adikku!”

“Wow! Tunggu! Kau harus beristirahat dulu setidaknya dua puluh empat jam ke depan! Tubuhmu belum pulih benar!”

“Ta...tapi Aisha juga tak bisa menunggu! Dia pasti juga sedang mencariku! Akan sangat berbahaya gadis lumpuh seperti dia terlalu lama sendirian di sarang Zakhon! Aku harus kesana!”

“Tunggu Nona Fleuret!”

Aku menatapnya.

“Namaku Sarah dan kau takkan bisa menahanku! Aku akan menuju Imparis!” tukasku lagi sambil berusaha bangkit dari bangsal. Saat mencoba berdiri, kakiku rupanya masih terlalu lemah menopang tubuhku. Aku hampir terjatuh saat Alcyon datang menopang tubuhku.

“Kau lihat sendiri kan!”

Aku menepiskan topangannya. Dengan sekuat tenaga kuraih bangsal dan aku memaksa berdiri bertopang kaki kiriku. Kaki kananku yang masih baru diregenerasi takutnya tak mampu menahan berat tubuhku.

“Sarah, sekarang kita di Sistem Mystian. Celesta jauhnya lima puluh tahun cahaya dari sini. Kalau hanya mengendarai kapsul kau takkan mampu. Harus menggunakan kapal induk”, tukas Alcyon dari belakangku. Tiba-tiba dia meraih punggung dan kakiku. Pria itu menggendongku.

“Aku janji. Pertemuanku dengan Ratu Auria takkan lama. Sejam lagi, kita akan menggunakan warp dan kembali ke Celesta. Satu jam! Aku berjanji!”

Deg! Aku terkejut saat pria itu menggendongku. Entah kenapa tiba-tiba aku, secara refleks, mengangguk. Tatapannya membuat tekadku bimbang. Tatapan yang begitu menenangkan. Kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang? Kenapa wajahku mendadak hangat? Dekapan pria itu seperti membiusku. Aku bahkan tak bisa kembali fokus dengan pencarian adikku. Apa yang terjadi padaku?

“Aku akan kembali”, tukasnya lagi, “Saat jarum jam disana menunjuk angka enam, kau sudah sampai di Celesta. Oke?! Sekarang istirahatlah!”

Aku ditaruhnya lagi di atas ranjang. Pria itu tersenyum manis sambil membenahi selimutku. Tak lama dia berpamitan dan keluar ruangan, meninggalkan aku yang masih saja bertanya-tanya.

Kenapa wajahku tiba-tiba bersemu merah?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar