Rabu, 09 Maret 2011

Modern Warfare

“Kita adalah pemilik kekuatan perang terbesar sepanjang sejarah manusia. Setiap perang adalah perang kita. Karena apa yang terjadi disini akan berdampak di tempat lain, tidak ada alasan untuk tidak peduli. Belajar menggunakan perangkat perang modern adalah perbedaan antara menyejahterakan hidup masyarakat atau kehancuran total. Kami tak dapat memberimu kebebasan, tapi kami tahu bagaimana cara mendapatkannya. Dan hal itu temanku, lebih bernilai daripada satu battalion tempur. Bukan masalah siapa yang memegang palu kendali karena yang utama adalah siapa yang mengayunkannya. Ini adalah waktu bagi para pahlawan. Inilah waktu mencetak legenda. Sejarah ditulis oleh para pemenang. Jadi mari kita bekerja!”



Peter Brovnski, presiden Republik Ayjurzistan
Istana Presiden, Petrobolavsk, Republik Ayjurzistan
07.30 AM, 15 September 2011

“Lewat sini, Pak Presiden”

“Bagaimana dengan Eva dan Maya?”

“Pasukan khusus sudah menjemput mereka di villa. Jangan kuatirkan mereka. Keselamatan Anda adalah prioritas utama kami!”

Chris, salah satu pengawalku merengkuh tanganku keras dan memaksaku melangkah lebih cepat. Keselamatan presiden di atas segala-galanya. Aku bahkan tidak sempat lagi memikirkan keselamatan anak dan istriku. Suasana istana kepresidenan sudah tidak kondusif. Chris dan beberapa pengawal lain mendesakku untuk segera memasuki limousin. Iring-iringan panser M1126 Stryker ICV dan beberapa jip M1114 Humvee tengah bersiaga mengawal limosin yang kunaiki. Kulihat banyak pasukan pengaman presiden atau paspampres dengan masker gasnya, dalam jumlah tidak biasa,sedang berjaga-jaga disana. Tak kuduga situasi bisa seburuk itu.

“Anggota kabinet yang lain?”

Chris mengangguk, mencoba meyakinkanku bahwa semua orang kami sudah diamankan. Aku setengah ragu saat masuk ke dalam limosin. Setelah Chris dan dua orang pengawal mengikutiku masuk, seorang paspampres mengacungkan jempol ke sopir kami. Tak lama, Stryker di depan kami mulai bergerak maju keluar melalui pintu gerbang istana presiden. Beberapa paspampres mengawasi iring-iringan kendaraan yang keluar sebelum akhirnya limo yang kunaiki ikut melaju perlahan.

Di dalam limo kulihat wajah Chris yang masih tampak tegang. Tangannya masih menggenggam pistol M9 sambil terus menoleh keluar jendela. Dua orang yang duduk di depanku juga melakukan hal yang sama. Kendaraan kami terus melaju melalui Statvblav Plaza dengan kecepatan yang cukup laju. Saat kutanyakan kepada Chris kemana kami akan pergi, pria itu menjawab lugas, “Kita menuju bandara Stevbovalska, Pak,disana helikopter NATO akan membawa Anda sekeluarga ke Jerman sampai keadaan gawat ini mereda.”

“Aku tak menduga situasi akan segawat ini. Tadi malam Menteri pertahanan bilang suasana sudah bisa dikendalikan. Sekarang bahkan aku sendiripun harus diungsikan keluar…?”

Chris yang duduk di sebelahku tersenyum miris.“Tentara OSNAR sudah menduduki separuh ibukota. Saat ini Jenderal Ahmed Rayvk sedang berpidato di televisi bahwa mereka telah melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Anda. Saat kita keluar tadi, kami mendapat informasi bahwa resimen lapis baja 324 OSNAR sedang bergerak menuju Istana.”

Aku mengelus jidatku. Menatap keluar limosinku. Paspampres sudah membuat barikade di sepanjang jalur yang kami lalui. Kulihat pula beberapa Stryker tengah bersiaga diikuti MBT (Main Battle Tank) M-1 Abrams yang berseliweran di jalanan Statvblav Plasa ini. Aku sendiri disibukkan oleh pikiranku. Perasaan tak percaya, jenderal terbaikku, sudah mengkhianati kekuasaanku. Dia, dengan membawa OSNAR, telah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang kupegang. Aku memang yakin suatu saat OSNAR akan bertindak melawan kami, tapi yang paling tidak dapat kuduga, jenderal terbaikku ada di belakang ini semua.

Setelah melalui Statvblav Plasa, iring-iringan memasuki kompleks pasar rakyat di Salkut Blvd. Aku bertanya kepada Chris kenapa kita tidak melewati jalur cepat seperti biasanya. Chris menggeleng tidak setuju. Intel melaporkan banyak tentara OSNAR bersiaga disana. Aku hanya mengangguk. Kendaraan kami terus berjalan menelusuri jalanan pasar yang kecil dan penuh sesak oleh kedai dan barang dagangan kaki lima. Hari itu semua pasar tutup. Warga ketakutan dan lebih memilih sembunyi dalam rumah mereka masing-masing. Setelah melalui tempat ini, kami akan bertemu jalan layang yang akan membawa kami menuju ke bandara.

Belum lima menit berjalan, aku melihat orang-orang sipil berlarian di atas atap bangunan ruko-ruko pasar. Perasaanku mendadak menjadi sangat tidak nyaman. Chris menunjuk dua pengawal rekannya sambil berteriak sesuatu di handie talkie. Aku yang tidak paham dengan istilah militer terus mengamati kerumunan orang-orang itu. Beberapa dari mereka melihat ke arah konvoi kami sambil berteriak-teriak satu sama lain. Seorang pria mengambil sesuatu dari bawah, yang saat kupicingkan mata, ternyata itu sebuah peluncur roket.

“RPG! Ada yang membawa RPG arah jam dua!” teriak Chris. Dua pengawalku yang tadi duduk di depanku langsung memaksaku menunduk. Terdengar ribut-ribut di belakang dan beberapa paspampres yang mulai melepaskan tembakan ke arah warga sipil. Tapi pria yang membawa pelontar roket itu tetap menembakkan senjatanya. Dalam sekejap kulihat roket meluncur laju ke arah iring-iringan kami. Benda itu tepat menghantam Stryker yang berada tepat di depan limosinku. Panser itu hancur berantakan. Kami semua di dalam limosin terkejut. Chris melarangku melihat keluar. Dia menyuruhku, dengan sedikit memaksa, untuk kembali menunduk. Suara tembakan kembali saling menyalak dari masing-masing pihak. Warga sipil yang kulihat tadi tampaknya ikut pula menembaki kami. Chris mengatakan bahwa mereka pengikut OSNAR dan aku tidak terkejut. Aku sadar kami telah dikepung.

Tembakan semakin gencar diiringi suara teriakan dan jeritan. Kembali seseorang berteriak tentang roket dan RPG. Sekali lagi sebuah roket mendesing ke arah kumpulan humvee yang mengawal kami di belakang. Tak pelak, humvee itu meledak dan berhamburan ke segala arah. Situasi semakin genting. Suara tembakan dan letusan peluru semakin tidak terkendali.

“Jack…”, teriak Chris pada supirku, “Bawa limo ini menjauh!”

“Tidak bisa pak! Kendaraan kita terkunci. Stryker dan humvee menghalangi!”

“Sial!” Chris memandangku, “Pak Presiden, kita harus keluar dari mobil! Tolong jangan jauh-jauh dari saya. Pakai rompi anti peluru ini! Kita akan segera pergi!”

Aku mengangguk. Kupakai rompi yang disodorkan oleh Chris. Pria itu sendiri tengah sibuk mempersiapkan uzi. Saat Chris hendak memberi kami aba-aba untuk keluar, seketika terdengar suara rentetan senjata api menghantam kaca limo. Dua pengawalku yang tidak sempat menghindar langsung meregang nyawa. Peluru menembus kepala mereka. Chris langsung membalas tembakan dengan uzi serta menarik lenganku keluar. Kami berdua berlindung di balik limo sementara peluru menghujani kami. Chris terus saja melepas tembakan sembari melihat peluang untuk lari. Beberapa paspampres mendatangi kami seraya memberikan bantuan tembakan.

“Lindungi kami, aku akan membawa Presiden ke tempat aman!”

Mereka mengangguk. Chris menggamit tanganku. Sambil terus melepaskan tembakan dia membawaku lari menyusuri bangkai humvee dan gelimpangan mayat pasukan kami. Tembakan serasa datang dari berbagai arah. Aku melihat ada lorong.

“Anda lihat lorong itu? Kita akan lari kesana! Dalam hitungan ketiga…”

Aku mengangguk.

“TIGA!”

Chris melepaskan tembakan uzi. Dia berteriak memaksaku lari lebih dulu. Aku segera lari dengan kepala menunduk menuju lorong. Sebuah desingan roket tiba-tiba terdengar diantara riuh rendah laju peluru. Aku merasakan tubuhku melayang. Roket itu meledak di belakangku. Di tempat dimana Chris tadi memaksaku berlari.

Mataku serasa berkunang-kunang. Aspal panas serasa menyengat tubuhku yang jatuh terbaring. Dengan sedikit tenaga yang tersisa aku berusaha menegakkan diri. Terdengar suara derap kaki terdengar mendekatiku. Seorang pria kaukasian berambut merah dengan tampang yang masih muda berdiri di depanku. Kulihat dia dan beberapa kawannya yang lain menggunakan selempang kepala berlambang dua pistol bersilang, lambang OSNAR. Beberapa kawannya langsung melepaskan pukulan ke arahku. Aku mengerang keras dan berguling-guling kesakitan saat sepatu boot mereka menendang-nendang tubuhku. Tapi tak lama pria itu menghentikan tindakan temannya.

“Dostatochno! Rayvk hochet yego zhivym!”

Sambil menggamit lenganku, sementara tangannya yang lain memegang AK-47, dia membawaku menjauh dari medan perang berdarah itu. Tembakan sudah tidak lagi terdengar. Tampaknya baku tembak sudah usai. Aku masih sempat melihat beberapa gerilyawan OSNAR menembaki tentaraku yang sudah tak berdaya dan menyerah. Hatiku miris. Pria itu membawaku ke sebuah mobil yang tampaknya cukup lama menunggu kami.

”Horosho! Vy poluchite etot chelovek!”

“Dovesti etot chelovek Rayvk!”

”Da!”

Pria muda itu lalu menghempaskanku ke kursi belakang dan mengikat tanganku agar tidak kabur. Aku mengerang kesakitan karena siksaan tadi. Pria itu lalu mengikuti temannya duduk di kursi depan. Kendaraan pun mulai melaju perlahan. Ketika itu pula si pria yang membawaku tadi memandang ke arahku. Dia tersenyum sinis, entah apa maksudnya. Setelah itu dihidupkannya radio mobil.

“Anda dengar ini, Bapak Presiden! Pemimpin kami sudah mengambil pemerintahan Anda!”

Dia lalu mencari sebuah saluran. Sayup-sayup kudengar suara pria yang tak asing lagi bagiku berbicara dari sana.

“Rakyat Ayjurzistan…!

Ahmed Ravyk! Dia rupanya sudah berpidato dari radio itu. Anak muda ini benar. OSNAR sudah mengkudeta pemerintahan kami. Pria itu lalu mengencangkan suara pidato itu agar aku bisa mendengarnya.

”Hari ini, kita bangkit kembali sebagai suatu bangsa, untuk melawan pengkhianatan dan korupsi!”

Aku menghela nafas panjang. Pasrah sudah aku dengan keadaan yang kini kualami. Pemerintahan yang kupegang sudah jatuh. Anak dan istriku pun tak sempat lagi kuketahui kondisinya. Kuharap mereka bisa mencapai bandara dan pergi sejauh mungkin dari sini. Kusandarkan tubuhku di kursi mobil sementara suara Rayvk terus berkumandang mungkin hampir di seantero negeri ini.

Kita semua mempercayai pria ini untuk membawa bangsa besar kita memasuki era kemakmuran baru…!Tapi sama seperti masa monarki sebelum revolusi, dia telah berkolusi dengan Barat demi kepentingannya sendiri!”

Kendaraan yang kunaiki semakin laju seiring dengan suara Rayvk yang semakin berkumandang dimana-mana. Beberapa reruntuhan barikade yang dipasang pasukanku telah aku lalui. Aku bisa melihat pasukan OSNAR menyeret mayat-mayat pasukanku diantara bangkai-bangkai kendaraan berat yang bertebaran di sepanjang jalan ini.

“Kolusi melahirkan perbudakan! Dan kita tak akan rela diperbudak! Waktunya telah tiba bagi kita untuk menunjukkan kekuatan sejati kita. Mereka yang telah meremehkan tekad kita, tunjukkan bahwa kita tidak takut kepada mereka!”

Mobil terus melaju. Kini memasuki Smyrrna Blvd. Pasukan OSNAR membariskan penduduk sipil, yang menurutku adalah para pendukungku, menghadap tembok. Sebelum mobil membelok, kulihat mereka dibantai habis-habisan. Di sudut lain beberapa pasukan OSNAR keluar dari beberapa panser. Tampaknya mereka hendak membersihkan wilayah ini dari pihak pro-pemerintah.

“Sebagai satu kekuatan, mari kita bebaskan nafas kita dari penindasan Barat! Tentara kita sangat kuat, dan tekad kita telah membaja! Saat aku berbicara, tentara kita hampir menuntaskan misi mereka. Misi dimana kita akan mengembalikan kemerdekaan bangsa kita. Bangsa yang besar!”

Mobil yang kutumpangi berbelok lagi hingga tiba di sebuah gedung penjara yang dipenuhi kendaraan tempur, yang dilihat dari tipenya, adalah milik OSNAR. Kebanyakan mereka menggunakan barang buatan Rusia alih-alih kami yang lebih memilih buatan NATO. Disana para tentara saling memekik satu sama lain sambil melepaskan tembakan salvo ke udara, suatu bentuk ungkapan kegembiraan yang cukup liar menurutku. Seorang tentara membuka pintu dan menyeretku keluar. Disana aku dipukul sekali lagi sampai pria yang bersamaku tadi mencegah mereka untuk tidak bertindak brutal lebih lanjut.

“Perang suci kita sedang dimulai! Seperti penghinaan mereka kepada kita, kita juga akan melakukan hal yang sama!”

Mataku masih berkunang-kunang saat mereka menyeretku menuju suatu lapangan di dalam gedung. Aku melihat tiang kayu terpancang berdiri di tengah. Seorang pria paruh baya dengan menggunakan seragam militer lengkap dengan semua atributnya mendekatiku. Matanya yang tajam diantara wajah yang dihiasi luka melintang di pipi, bekas peperangan masa lalu, menatapku dalam-dalam. Dia menyeringai lebar,seringai penghinaan.

“Rayvk…”, bisikku pelan diantara rasa sakit. Pria bernama Ahmed Rayvk itu lalu pergi menjauh setelah menyuruh pria yang membawaku mengikatku di tiang kayu. Kulihat Rayvk berjalan ke seorang pria seumuran dengannya. Pria itu menyerahkan sebuah pistol.

“Bapak Presiden, ini Desert Eagle…” bisik Rayvk sambil menunjukkan pistol berwarna perak itu ke hadapanku, “…tujuh biji peluru kaliber .50 Action Express, berat 1,8 kilogram, berat proyektil 19,4 gram, kecepatan tembak 1.380 kaki per detik, dan energi lontar sebesar 1.650 Joule. Benda ini buatan sekutu Anda, Israel”, gumamnya lagi sambil mencibir. Setelah itu dia berteriak ke arah operator kamera untuk memfokuskan pengambilan gambar ke arahnya. Sekali lagi dia memandangku.

“Dan sekarang bagaimana ini semua dimulai!”

Rayvk mengarahkan moncong senjatanya ke arah kepalaku. Dia menyeringai lebar. Seringai yang sangat tidak menyenangkan.

“Demi revolusi…!”

Terdengar suara dentuman keras. Suara yang terakhir kali dirasakan semua panca inderaku.

***
Keterangan:
“Dostatochno! Rayvk hochet yego zhivym!” : “Cukup! Rayvk menginginkannya hidup-hidup!”
”Horosho! Vy poluchite etot chelovek!” : “Bagus! Kau mendapatkan pria ini!”
“Dovesti etot chelovek Rayvk!” : “Bawa dia ke Rayvk!”
”Da!” : “Ya!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar