Rabu, 13 Juli 2011

Empat Penunggang

“Aku bermimpi, seekor kuda yang begitu anggun dan tampan, putih warnanya.Aku melihat penunggangnya. Seorang berzirah perak. Dia memegang busur dan panah di tiap sisi tangannya. Sebuah mahkota berbalut emas dan bertatah berlian menghiasi kepalanya. Wajahnya pencerminan kepercayaan diri seorang ksatria. Aku terpesona saat memandangnya. Penunggang itu, dia ditakdirkan meraih kemenangan.”

Tahun 2121, setelah musim dingin nuklir yang panjang, hampir seribu tahun sebelum aku lahir, sebuah aliran spiritual muncul di tengah hingar-bingar dunia yang saat itu sedang dilanda krisis dan kekacauan. Para leluhur menyebutnya Eur, sebuah agama yang dibawa oleh sang terpilih, Rasul Daren. Sang rasul membawa sebuah pesan spiritual, yang mereka sebut Wahyu, dan berusaha membangun ulang peradaban yang sempat hancur. Berkat bantuan lima Keluarga Lama, Eur menjadi kuat. Mereka membangun sebuah kerajaan spiritual, perpanjangan tangan Eris Alvar Yang Tunggal, di sebuah kota suci kuno yang disebut Edenoir. Penghitungan tahun mulai ditetapkan. Eur lahir di tahun 1 EN (Euri Natali).



300 EN, setelah penyebaran agama yang cukup radikal diantara kancah perseteruan dunia, Eur akhirnya berhasil mendapatkan posisinya sebagai aliran utama dunia. Eur menjadi pusat teologi utama dunia dan Edenoir menjadi kota suci bagi para penziarah. Setelah kematian Sang Rasul, lima pimpinan Keluarga Lama melakukan pemilihan diantara para Eudr, pemimpin agama, untuk menjadi Pion, imam agung Eur dan Kerajaan Edenoir. Edenoir lalu berkembang, tidak hanya sekedar pusat spiritual, tetapi juga menjadi kerajaan adidaya yang memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan politik. Para penerus Keluarga Lama menjadi klan berpengaruh dalam mengendalikan arus kehidupan dunia.

“Aku kembali bermimpi, seorang penunggang kuda yang lain. Kuda dengan warna merah padam. Orang yang menungganginya diberi kuasa untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar yang selalu diacungkannya ke atas langit. Kudanya terus menerus meringkik keras. Dia melaju dan api neraka mengikuti jejak kakinya. ”

900 EN, sebuah ancaman spiritual besar muncul dari kawasan timur. Mereka yang menyebut diri mereka Para Pembebas mengumandangkan sebuah argumen spiritual baru. Pembebasan diri dari kefanatikan Edenoir. Mereka menganggap Eur telah dimanipulasi para Eudr untuk kepentingan duniawi. Kesucian Eur telah disimpangkan demi hasrat personal. Edenoir dianggap terlalu turut campur dalam masalah dalam negeri mereka. Para Pembebas menginginkan pemurnian lagi Eur, lepas dari kungkungan Pion di Edenoir. Perseteruan teologis pertama terjadi. Kestabilan Eur mulai tergoncang. Kerajaan dan negara antara pendukung Edenoir dan mereka yang ingin lepas dari dominasinya saling bertempur. Pertumpahan darah telah dimulai. Cita-cita Para Pembebas mulai tercampur dengan hasrat berperang dari masing-masing negara. Sekali lagi, dunia jatuh dalam kekacauan dan anarkhi.

”Dalam mimpiku selanjutnya, muncul penunggang kuda yang lain. Dia mengendarai seekor kuda berwarna hitam. Sebuah timbangan dia genggam di tangan kanannya. Timbangan itu oleng. Dia berteriak tentang fitnah, tentang penghasutan, dan kebohongan perdagangan. Dia mengangkat timbangan itu tinggi ke atas. Aku mendengar teriakan gegap gempita. Kuda hitam itu berlari membawa penunggangnya dan timbangan yang oleng.”

950 EN. Stabilitas Edenoir yang awalnya kuat dan adidaya mulai terguncang oleh perang. Para Pembebas dan Edenoir dengan negara pendukungnya masing-masing, jatuh ke jurang kehancuran. Perekonomian dunia sepenuhnya kolaps. Edenoir tidak sanggup menjaga kestabilan keuangan dunia. Harga-harga melejit tinggi. Penjarahan dan perampokan terjadi di kalangan masyarakat bawah sementara para bangsawan mengeruk untung sebesar-besarnya demi dirinya sendiri. Dan perang masih berlarut-larut tanpa bisa memberi keputusan siapa yang kalah siapa yang menang.

Dan semua itu sudah diramalkan.

Kututup buku harian itu. Tertulis nama Daren disana. Buku itu milik Sang Rasul, seribu tahun yang lalu. Perpustakaan Edenoir sudah menyimpannya dengan sangat baik. Tapi aku tidak berniat mengembalikan buku itu kesana. Benda yang seharusnya menjadi relik suci itu kubawa dalam jubah merahku. Aku hendak menunjukkannya kepada Yang Mulia.

Seorang penjaga membukakan pintu untukku. Di dalam, pria yang sudah lanjut dengan rambut serba putih mengangguk kepadaku. Wajahnya teduh dan penuh kasih. Dia mengenakan seragam kebesarannya sambil sebelumnya terlihat termenung menatap jendela. Aku mendatanginya dan mencium tangannya, tanda penghormatan. Pria itu membalasanya dengan tersenyum.

“Eudr Gnadimi, apa sudah saatnya?”

“Tak lama, Paduka.”

Pria tua itu, Pion Arawn, mengangguk. Kulihat wajah yang begitu letih. Dia kembali memandangi jendela. Musim dingin telah tiba di Edenoir. Kota tua itu berselimut salju. Butir-butir putih masih berjatuhan dari langit. Pepohonan meranggas. Halaman istana, tempat dimana biasa para Eudr berkumpul, kini terlihat sepi. Sepanjang penjuru jalan kota pun terlihat lengang.

“Yang Mulia, menyoal perang ini… Apakah kita akan selamat?”

Sang Pion melihat kembali ke arahku. Wajahnya tampak bertanya-tanya.

“Perang ini, mungkinkah mereka akan mendapatkan kemenangannya? Mungkinkah Edenoir akan…”

“Kenapa kau berkata seakan-akan kita akan kalah, Gnadimi? Yakinlah! Kita masih kuat! Edenoir masih mampu bertahan.”

“Tapi perang tidak kunjung jua berakhir. Apa ini pertanda Yang Tunggal tidak bersama lagi dengan kita?”

Aku melihat keterkejutan di wajahnya.

“Kenapa kau meragukan kuasa Yang Tunggal? Eris Alvar masih bersama kita, Gnadimi. Yang Tunggal melindungi kita dari kejahatan para binatang buas. Yang Tunggal menjaga kesucian Edenoir dari tangan-tangan kotor.”

“Amin…”, balasku.

“Seharusnya, Eudr dengan kualitas iman yang tinggi sepertimu, tidak pantas menanyakan hal seperti itu.”

“Aku hanya…, bukannya aku meragukan imanku, Yang Mulia. Hanya saja, bila lama kurenungkan, apa yang diucapkan mereka ada benarnya juga.”

Pion Arawn menatapku tajam, “Mereka? Para Pembebas itu maksudmu?”

Aku mengangguk, “Aku melihatnya sendiri, beberapa dari saudaraku telah melencengkan iman mereka untuk sesuatu yang duniawi. Mereka berkata tentang Eur dan kebahagiaan abadi, tetapi mereka meraup keuntungan dari hal-hal yang tidak benar. Mereka mengambil hak orang dengan mengatasnamakan Eur. Mereka mendakwa bidah hanya karena tidak mendukung kebijakan mereka. Beberapa orang tentu berpikir, kesucian Eur perlu diselamatkan dari tindakan Eudr yang hina ini.”

“Jadi, sekarang kau lebih mempercayai ucapan kaum bidah itu daripada saudara-saudaramu sendiri, Gnadimi?” Arawn menukas keras. Aku langsung menunduk. Tidak seharusnya aku mengatakan hal seperti ini secara blak-blakan. Kondisi saat ini sangat buruk, dan mungkin Pion tidak dalam suasana hati yang baik.

“Tidak, Yang Mulia. Saya hanya ingin, mengatakan apa yang sejujurnya dari hati saya.”

Pion tersenyum sinis. Dibuangnya tatapan ke jendela. Senja sudah datang. Matahari perlahan jatuh ke batas horizon. Membentuk siluet indah bangunan-bangunan kota Edenoir. Pria tua itu mendesah sesaat sebelum berkata-kata.

“Kita juga tidak diam dengan kondisi ini. Kita menghukum mereka yang telah menodai kesucian Eur. Kita juga punya protokol. Kita telah mengusahakan yang terbaik, tapi mereka, para pemberontak itu, tetap saja menganggap kita… sekumpulan fanatik berpikiran picik.”

Aku mengikuti tatapannya ke arah jendela. Semburat merah mulai menghilang di langit yang perlahan gelap.

“Bagaimana pendapat Anda tentang ramalan, Yang Mulia?”

“Maksudmu?”

Aku mengambil sesuatu dari balik jubah merahku. Pria tua itu terkejut tatkala melihat apa yang kutunjukkan padanya.

“Buku harian Sang Rasul. Bagaimana kau bisa mendapatkannya?”

“Yang Mulia, ini bukan masalah bagaimana aku mendapatkannya. Tapi, yang menjadi masalah adalah tulisan Rasul di halaman terakhir buku ini… Tentang mimpi-mimpinya, yang menurut saya, adalah ramalan tentang masa depan.”

“Apa maksudmu soal para penunggang itu? Kau bermaksud menyamakan apa yang diimpikan Rasul Suci dengan apa yang kita alami saat ini?”

“Saya hanya, merasa apa yang dituliskan Sang Rasul benar. Mimpi-mimpi itu, adalah ramalan akan apa yang bakal terjadi dengan... Edenoir?!”

Pion menggeleng keras. Dia seperti sangat tidak setuju dengan kata-kataku.

“Penunggang kuda putih itu, lambang kemenangan. Lalu datang penunggang kuda merah, pembawa perang dan kekacauan. Lalu kuda hitam, membawa keguncangan perekonomian dan kemelaratan kepada dunia. Lalu kuda keempat…”

“Cukup, Gnadimi! Cukup! Tidak sepatutnya kau menerjemahkan secara langsung isi buku-buku yang berada di kategori ‘Terlarang’! Buku harian itu tak bisa ditafsirkan secara harfiah, Gnadimi!”

“Yang Mulia, saya mohon pahamilah! Apa yang tertulis dalam buku ini, sejalan dengan apa yang telah terjadi sepanjang seribu tahun ini. Ramalan ini, akan terus berlangsung bila kita tidak secepatnya mengakui semua kesalahan kita ke mata dunia. Lebih baik kita memulai perdamaian, mengalah dalam perseteruan ini. Kita gunakan sisa tenaga kita untuk memperbaiki sistem teologis kita. Memperbaiki Edenoir. Memperbaiki dunia. Hanya itu, yang diinginkan suara-suara di luar sana terhadap kita!”

“Menunduk takluk di bawah kaki para bidah terkutuk itu! Tidak akan, Gnadimi! Kita tidak sudi mengalah! Kita akan terus berjuang! Kita tidak akan kalah oleh para kaum bidah itu karena aku yakin, Yang Tunggal akan selalu bersama kita.”

“Demi Edenoir, Yang Mulia…”

“Jangan mencoba menguliahi aku, Gnadimi. Usiamu yang baru tiga puluh tahun, meski aku akui kejeniusanmu mencengangkan para Kepala Keluarga Lama, namun aku yang lebih paham soal apa yang tengah terjadi disini!”

Kulihat wajah tua itu beringsut marah. Aku mengangguk mencoba meredakan amarahnya. Pria tua itu menyeret tubuhnya ke kursi kayu oak yang terdapat di depan meja kerjanya. Dia duduk sambil memijit jidatnya. Tiba-tiba terdengar suara lonceng dari balik tubuhku. Kudengar pintu tua besar itu berderik. Beberapa pria berjas hitam masuk sambil memberi hormat.

“Ya?” Pion Arawn sedikit melirik.

“Yang Mulia…”, kulihat pria itu, Aramis, Kepala Keamanan Kerajaan berkata sambil sesekali melihatku, “…kita harus pergi!”

“Sudah saatnya?”

“Musuh menguji coba Bom Fusi di wilayah Emprion. Acara kita dipercepat. Kendaraan kita sudah siap dan semua Eudr sudah menunggu.”

Kami berdua sama-sama terkejut, “Bom Fusi?!”

Aramis membalas dengan anggukan. Pion Arawn berdiri. Sekilas dia memandangku sebelum Aramis membantunya berjalan.

“Seperti itukah orang-orang yang kau percaya akan memperbaiki dunia? Menghancurkan tanpa ampun? Pemurnian Eur hanya kedok, Gnadimi. Mereka hanya menginginkan kekuasaan. Mereka akan terus dan terus berperang sampai keinginan mereka dituruti, itulah yang akan terjadi.”

Aku terdiam. Pion Arawn cukup lama memandangku sampai akhirnya Aramis setengah memaksanya pergi. Dia juga menoleh ke arahku, “Mari, Tuan Gnadimi!”

Derap langkah kaki kami terdengar menggema saat menyusuri lorong bawah tanah Istana. Sesampainya di ujung, aku melihat sebuah kereta bawah tanah sudah siap berjalan membawa kami keluar dari tempat ini. Beberapa pengawal lain sudah siap disana. Aku melihat beberapa Eudr, mereka yang memiliki posisi tinggi di Edenoir juga sudah berada di dalam kereta itu.

Aramis sudah menyiapkan kursi khusus untuk Pion. Beberapa Eudr memberi hormat saat Pion melewati mereka. Sementara itu, aku dibimbing ke salah satu kursi yang kosong di belakangnya. Aku meminta kepada Aramis untuk berada di samping Pion karena urusan kami belum selesai. Aramis setuju. Beberapa saat kemudian, kereta yang kunaiki mulai berjalan. Benda besi dengan tenaga elektromagnet itu terus melaju kencang menyusuri terowongan bawah tanah Edenoir. Ujung terowongan ini adalah batas utara Edenoir dimana pesawat khusus sudah disiapkan untuk mengangkut Pion dan para Eudr kemanapun ke sisi dunia.

Pria tua itu menatapku. Meminta pendapatku mengenai apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa mendekap tubuhnya erat.

“Yang Mulia, saya sangat menghormati Anda, maafkanlah segala perbuatan anakmu ini.”

Pria tua itu tersenyum seraya mengangguk. Dia menjulurkan lengannya membalas dekapanku.

“Asalkan kau kembali ke jalan yang lurus, Gnadimi. Yang Tunggal akan selalu memaafkanmu.”

“Saya sangat mencintai Anda dan Eur. Saya sangat mencintai Edenoir dan tak ingin apa yang susah payah dibangun leluhur kita, hancur karena ramalan itu terpenuhi.”

“Apa maksudmu, Anakku?”

“Saya hanya ingin semuanya lekas berakhir. Semoga Eris Alvar Yang Tunggal mengampuni kita semua.”

Kukecup pipi kirinya. Sebuah reaksi asing memicu jantungku berdetak sangat kencang. Tiba-tiba panas terasa menjalar ke seluruh tubuh. Rasa sakit yang tak terhingga menderaku, memenuhi seisi diriku. Tapi aku tak bisa melepaskan dekapanku. Aku melihat cahaya terang benderang mencuat dari tubuhku. Aku bisa mendengar teriakan manusia-manusia di sekitarku. Terakhir aku tersadar, kulihat wajah tua yang kudekap itu terhenyak, dia menangis. Dia menjerit tanpa suara. Aku bisa melihat kulit tuanya yang meleleh berganti tengkorak putih sampai akhirnya, semuanya menjadi serba gelap.

+++

Lima jam sebelumnya

Aku memandang keramaian dari jendela hotel. Seorang pengawal sudah memberitahuku kalau kereta supercepat yang akan mengantarku ke Edenoir akan segera berangkat dua jam lagi. Aku mengangguk dan memintanya untuk menunggu di bawah. Dia mengangguk sebelum pergi. Kututup buku berwarna merah tua itu. Buku yang sebagian besar kulitnya sudah melapuk termakan usia. Tertulis nama Daren di sampulnya.

Aku menuju lemari. kuambil koper milikku. Kubuka isinya. Sebuah alat berwarna keperakan seperti suntik bius. Bom Nano, begitu orang-orang dari klan Para Pembebas itu menyebutnya. Sebuah rekayasa teknologi yang mengembangkan alat peledak termonuklir sebesar virus. Bila benda ini disuntikkan ke tubuh manusia, bom akan menjalar bersama aliran darah ke dalam tubuh, yang membuatnya tidak dapat terdeteksi oleh siapapun. Bom akan meledak, sesuai perintah pemilik tubuh yang mengirimkan informasi ke otak. Reaksi termonuklir akan terpicu, dan ledakan mampu membakar habis siapapun dan apapun.

Aku tidak berniat memperjuangkan apa yang dicita-citakan Para Pembebas. Yang kuinginkan hanyalah, perang segera berakhir dan ramalan tentang penunggang kuda keempat tidak menimpa kami.

+++

Di akhir mimpiku, seekor kuda pucat muncul. Dia yang menungganginya bernama Maut dan kerajaan kematian mengikutinya. Kepadanya diberi kuasa atas kemusnahan di muka bumi ini dengan pedang, dengan kelaparan dan penyakit menular, dan dengan binatang-binatang buas yang bernaung di bumi. Dari bekas tapak kudanya, kulihat kemusnahan segala bangsa, keruntuhan segala kerajaan manusia, dan kehancuran segala Wahyu.

+++


1 komentar:

  1. Keren bos~~
    Endingnya apalagi <3
    Ga di-post di kekom?

    BalasHapus