Rabu, 13 Juli 2011

Fantasy Fiesta 2011 : Melodia

“Nim eru nabis enum… Sanem mobus eni sarum”

“Tanah kami yang suci, milik bumi untuk naphlm”

“Bunda kami Euwyr yang bernyanyi”

“Dalam ketentraman dan harmoni”

“Untuk tanah kaum naphlm yang suci”


Kunyanyikan senandung itu, yang biasa dinyanyikan Mama untuknya sebagai pengantar tidur, untuk Agatha. Aku memandangnya iba. Sejak peristiwa itu dia tidak pernah bisa berbicara lagi. Cobaan itu terlalu berat bagi bocah enam tahun seperti dia dan mungkin itu penyebab dia tak bisa berbicara. Kudekap erat tubuhnya sambil menahan air mata agar tidak tumpah di depannya. Aku harus tegar demi Agatha. Aku keluarganya yang tersisa. Aku harus melindunginya.



Hari makin larut. Rembulan biru pucat menyeruak dari balik grabetur yang mengapung di langit atas kami. Grabetur adalah sebutan untuk benua yang melayang di langit dan menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk planet ini. Meski sudah masuk malam, langit terlihat gemerlap. Bintang-bintang berpijar bertaburan diantara tarian aurora. Pemandangan yang mengesankan seandainya kami tidak dalam kondisi seperti ini. Saat kuajak Agatha melihat itu sekilas, rupanya dia sudah tertidur pulas. Kucium dahinya dan kusandarkan diri untuk beristirahat.

Belum lama menutup mata, seseorang menggoyang lenganku. Aku terkejut. Leon rupanya sudah berdiri di depanku. Dia pemimpin rombongan kami.

“Kita berangkat sekarang. Malam ini cukup cerah jadi kita bisa bergerak tanpa penerangan. Besok pagi kita bisa mencapai ujung grabetur Grahdan dan menyeberang ke Phantosur. Disana kita akan aman.”

Aku mengangguk. Kugendong Agatha, yang masih tertidur, di punggung. Beberapa pengungsi yang terbangun sudah kembali melangkahkan kaki. Leon memimpin di depan bersama beberapa pemuda yang masih terlihat sehat. Perjalanan menembus hutan pinus pun dilanjutkan. Begitu selesai menyusurinya kami akan menjumpai desa Ilina, tempat dimana kami bisa menyeberang menggunakan kapal sihir menuju Phantosur.

Belum lama berjalan, kami mendengar sayup-sayup suara gemuruh di kejauhan. Suara itu sangat tidak asing bagi kami dan membuat semua pengungsi di rombongan terkesiap saling menatap. Ekspresi muka mereka yang terlihat letih tiba-tiba siaga. Leon mencoba mendengarkan lebih seksama sebelum akhirnya dia berteriak.

“Sanctifior!!! Merunduk semua!!!”

Kubawa Agatha menuju sebuah semak belukar untuk bersembunyi. Leon tergesa-gesa menghampiriku untuk memastikan kami sudah aman. Kuucapkan terima kasih atas perhatiannya yang cukup besar pada kami. Kudekap kepala Agatha dalam-dalam sambil terus waspada terhadap sekeliling. Semua pengungsi tampaknya sudah mendapatkan tempat persembunyiannya masing-masing. Suara gemuruh terdengar semakin kencang. Daun-daun pinus mulai bergoyang.

Aku melihat lampu-lampu sorot menerangi tempat kami bersembunyi. Ada sekitar enam burung besi berbaling-baling milik kaum manusia, mereka menyebutnya rhapsodos, melayang-layang di atas kami. Kuperhatikan Leon di sampingku begitu bersiaga menjaga kami. Entah mengapa, dalam situasi kritis seperti ini, aku bisa menemukan ketenangan disampingnya. Kudekap erat Agatha yang sedang menerawang kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Cukup lama mereka melayang-layang sebelum akhirnya bergerak menjauh.
Begitu situasi bisa dibilang cukup aman, Leon memberi isyarat kepada rombongan untuk keluar dari persembunyian. Kuangkat Agatha dan kugendong lagi dia di punggungku sebelum akhirnya bergabung dengan yang lain.

Tidak banyak kutahu tentang mereka. Penduduk memanggil mereka Sanctifior. Mereka orang-orang kerajaan yang bertanggung jawab atas pembakaran desa kami. Mereka yang membunuh Papa, Mama, dan Richard. Entah apa dosa kami sampai mereka berniat membantai seluruh isi desa. Sejak pertemuanku dengan para pengungsi lain, aku menyadari ternyata tidak hanya desaku saja yang dibantai. Sanctifior juga memusnahkan semua desa kaum kami dan desa-desa dari ras bukan-manusia yang lain.
“Agatha tidak apa-apa?” tanya Leon membuyarkan lamunanku. Gadis di gendonganku hanya membisu. Aku yang membalas ucapannya sambil tersenyum. Leon menawariku menggendong Agatha tapi aku menolak. Bebannya menjaga lima puluh pengungsi ini lebih berat ketimbang aku yang hanya menanggung Agatha saja.

“Dia masih terpukul dengan kejadian ini. Kehilangan separuh isi keluarga bukanlah hal yang mudah bagi anak seusia dia”, balasku.

“Paman Vincent dan Bibi Eudora adalah orang yang baik. Richard juga anak yang manis. Tak sepantasnya mereka mendapatkan perlakuan seperti itu.”

“Paman Luther dan seluruh penduduk desa kita adalah orang yang baik. Tidak ada alasan bagi manusia itu untuk menangkap dan membakar mereka semua hidup-hidup di tiang pancang!” ujarku sedih. Tak kusadari, air mata meleleh di pipiku. Leon hanya menunduk. Aku juga bisa memahami perasaannya. Ayahnya, kepala desa kami, adalah yang paling pertama dibunuh Sanctifior. Dia dipenggal dan mayatnya dibakar di hadapan kami.

“Kenapa mereka melakukannya?” tanyaku terbata-bata.

“Pemurnian. Mereka berencana memurnikan semua ras di Mystia dalam satu agama. Eur, agama utama kaum manusia. Mereka memaksa kita menjadi penganut Eur dan menyembah hanya kepada Tuhan Eris Alvar.”

“Tapi, Bunda Euwyr adalah pelindung kita. Seharusnya mereka mengerti.”

“Menurut mereka apa yang mereka anut itulah yang paling benar. Kita adalah ras kafir bagi mereka hanya karena kepercayaan kita berbeda. Mereka tak pernah mau mengerti. Manusia adalah makhluk yang pongah, sombong, dan merasa paling berkuasa hanya karena teknologi mereka lebih unggul. Apapun kehendak mereka, dengan menggunakan kekuatan kerajaan, mereka bisa mewujudkannya.”

Aku mengangguk. Ucapan Leon sepenuhnya benar. Kelakuan kaum manusia itu sudah buruk sejak dahulu. Meski kami bermukim di wilayah mereka, Kerajaan Mystia, tapi kami benar-benar menghindar dari membaur dengan mereka.

“Mia, aku mengkhawatirkan incaran utama mereka dari Pemurnian ini. Aku dengar Sanctifior berencana memburu Para Penyanyi dari kaum kita. Mereka menganggap Para Penyanyi adalah pengikut Iblis yang merupakan musuh Tuhan. Karena itu mereka lebih mengutamakan pemusnahan Para Penyanyi yang menolak Eur. Tapi bila kupikir, mereka hanya takut dengan sihir terkuat kaum naphlm, Melodia. Sihir yang tak mampu dikalahkan oleh teknologi tercanggih milik manusia.”

“Para penyanyi… Seperti kami…,” ujarku tertahan. Garis Penyanyi diturunkan oleh ibu ke anak-anak perempuannya. Mama adalah seorang Penyanyi yang hebat. Dia mampu melepaskan Melodia, sihir kuno yang konon dapat memanggil makhluk terkuat di jagad raya ini, divion. Mungkin karena itu, Sanctifior terlebih dahulu membakar Mama.

“Karena itu, apa yang paling kukhawatirkan adalah keselamatan dirimu dan Agatha. Kalian keturunan dari Sang Penyanyi. Aku takut kalianlah yang mereka incar pertama kali.”

Aku mengangguk mengerti. Kudekap Agatha erat-erat. Aku sudah berjanji padanya, sejak kematian mereka, bahwa apapun yang terjadi aku akan melindungi Agatha. Aku akan menyelamatkan keluargaku satu-satunya ini hingga menyeberang ke Phantosur nanti. Meskipun aku tahu aku tak sehebat Mama sebagai Penyanyi, aku akan menggunakan semua sihir yang pernah beliau ajarkan untuk melindungi kami.

“Jangan kuatir,” balasnya tak lama sambil tersenyum, “aku janji akan melindungi kalian!”

Entah kenapa, saat Leon mengatakan itu, jantungku merasa berdebar. Perasaan hangat membuncah mengalahkan ketakutan dari teror yang melanda kami. Tanpa kusadari, aku tersipu sendiri. Rasanya begitu tolol, mengalami perasaan seperti ini saat kaumnya tengah berduka. Tapi setidaknya aku bersyukur karena kehadirannya membuatku merasa tenang seperti saat dia melindungi kami tadi.

Hutan pinus terus kami telusuri hingga menaik ke puncak bukit. Kata Leon di balik bukit itu terdapat desa kaum elf, Ilina, tempat kita menyeberang. Para pengungsi sudah banyak yang kehabisan tenaga sehingga kami menjadi sering beristirahat. Seandainya tidak ada Leon, mungkin kami takkan bisa sejauh ini.

Kupandang langit. Grabetur Abernes terlihat melayang tak jauh dari kami. Di grabetur itulah pusat kerajaan berada. Ukurannya lebih besar dari grabetur Grahdan tempat kami sekarang. Disanalah kebanyakan kaum manusia tinggal. Sementara di sini, kaum bukan-manusia seperti kami, elf, dan beberapa ras bukan-manusia lain yang banyak tinggal.

Kulihat rembulan merah mulai muncul dari balik grabetur itu. Kutepuk bahu Leon. Pria itu mengikutiku memandang langit. Kami tersenyum. Rembulan itu menandakan hari sudah mulai pagi.

“Desa Ilina sudah dekat!” ucapku gembira.

Akhirnya, sesudah berjalan melewati bukit, kami melihat sebuah desa. Tapi ada asap membumbung tinggi dari sana. Wajah Leon mendadak tegang. Aku yang ikut memandang asap itu tiba-tiba ikut merasa tidak nyaman.

“Jangan-jangan…”

Leon berlari menyusuri bukit menuju ke arah desa itu. Kami semua ditahannya untuk tidak ikut. Tapi aku tak bisa menahan diri. Kutarik Agatha dan kami berlari mengejarnya. Tiba-tiba, semua pengungsi juga mengikuti langkah kami menuju desa yang rupanya tidak terlalu jauh dari tempat kami berada. Kecemasanku semakin besar saat dari kejauhan kulihat puing-puing dari desa itu.

Perlahan-lahan, langkah Leon yang laju berubah menjadi lunglai. Untuk pertama kalinya, aku bisa melihat keputusasaan dari pria itu. Kubawa Agatha dan kusongsong dia.

“Tidak…! Ini… tidak mungkin!”

Aku sampai di sampingnya saat tubuhnya jatuh terduduk, tepat di gerbang desa Ilina tempat kami seharusnya menyeberang. Aku mendengar beberapa pengungsi di belakangku mulai meratap. Kami benar-benar tidak menyangka manusia sudah menyerang desa di pesisir lebih cepat dari yang kami kira.

Aku ikut duduk disampingnya. Kupegang erat-erat tangannya. Kubiarkan dia membagi keputusasaan yang dia alami saat ini denganku. Aku sendiripun tak bisa berkata-kata. Satu-satunya jalan bagi kami untuk menyeberang ke negeri yang menjanjikan keselamatan, kini sudah tiada. Sekarang kami terkurung sendirian disini. Sendiri. Tanpa bantuan. Tanpa harapan.

Tiba-tiba terdengar suara dengungan keras dari kejauhan. Suara yang sama seperti saat tadi malam kami melintasi hutan pinus. Wajah semua orang mendadak tegang. Para manusia! Mereka rupanya sudah mengincar kita.

“Rhapsodos!” teriak beberapa orang, “Pasukan Sanctifior!”

“Semua sembunyi! Semua sembunyi!!!”

Kugendong Agatha dan hendak kubawa ke tempat aman. Tapi saat kudekap lengan Leon, dia seakan enggan berlari.

“Leon, ayo!”

“Percuma…”

“Apa maksudmu?”

“Kita… sudah tak punya harapan selamat,” tukasnya putus asa. Mimik mukanya, sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tadi.

“Tidak! Bunda Euwyr takkan meninggalkan kita! Kita tak boleh menyerah! Ayo!”
Suara dengungan terdengar makin keras. Rhapsodos itu tiba lebih cepat dari yang kami duga. Aku melihat enam buah burung besi itu bermunculan dari balik bukit. Rentetan bunga api diiringi suara letupan keras tiba-tiba keluar dari mulut mereka dan menghujani kami di bawah. Aku melihat para pengungsi yang belum siap bersembunyi jatuh bertumbangan. Mereka mulai membantai kami dengan senapan mesin mereka.

“Leon!!!”

Di tengah kekalutan itu sebuah rhapsodos menghampiri kami dengan cepat. Aku melihatnya hendak melepaskan tembakan. Aku kalut.

“Ayo, Leon!!!”

Pria itu menatapku putus asa. Aku semakin memaksanya berdiri.

“Kau berjanji akan melindungi kami, kan!!!” teriakku keras. Kulihat matanya membelalak. Rupanya Leon menyadari kesalahannya. Kami didorong menjauh olehnya saat sebuah rhapsodos itu hampir merobek tubuh kami. Aku dan Agatha terjerembab. Leon berlari ke arahku lalu merengkuh kami berdua. Diantara kami, suara tembakan terdengar semakin nyaring.

“Ma…maafkan aku, Mia! Aku… pria yang bodoh…!” ujarnya berulang kali. Dia menggamitku dan menggendong Agatha sebelum akhirnya membawa kami mencari tempat perlindungan terdekat diantara gencarnya rentetan tembakan.

Tak kusangka, tiba-tiba sebuah rhapsodos menghadang langkah kami. Sebuah kaki besi menjulur dari tubuhnya diikuti lengan berbalut senapan mesin dan sebuah meriam. Benda melayang itu berubah bentuk menjadi semacam robot. Leon langsung memunggungi kami dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng seandainya rhapsodos itu menyerang. Aku tidak sanggup berteriak. Benda itu hendak menembak.

DUAAAARRR!!!

Kudengar suara menggelegar. Tanpa tahu apa yang terjadi, Leon serta-merta berbalik memeluk kami. Sekilas aku melihat rhapsodos terbelah dua. Sesuatu meledakkan perutnya. Benda terkutuk itu jatuh ke tanah.

“Ap… apa yang…?”

Kudengar teriakan membahana di angkasa. Puluhan ekor dragiva, sebuah ras naga terbang yang biasa digunakan untuk berkendara oleh ras bukan-manusia, yang ditumpangi oleh orang-orang bertelinga panjang tengah melayang-layang diantara kami. Bola api biru yang mereka lepaskan menghantam rhapsodos yang tidak sempat berkelit. Beberapa diantaranya hancur.

“Pejuang elf!” ujar Leon terbata, “Mereka menolong kita!”

Rhapsodos yang tersisa tidak sempat menyelamatkan diri. Mereka yang cuma enam buah tidak mampu menahan serangan sihir yang dilepaskan bertubi-tubi oleh puluhan pejuang elf. Dalam sekejap, benda-benda besi yang menghantui kami itu sudah menjadi puing.
Setelah cukup aman, seekor dragiva dengan penunggangnya yang terlihat tua menghampiri kami diikuti dragiva yang lain.

“Salam bagi kaum pemuja Bunda Euwyr yang tersesat. Sungguh suatu keberuntungan kami sempat melihat kalian dikepung burung besi itu. Aku Roush-Tala, pemimpin pejuang dari Suku Elf Selatan. Kami juga sedang menuju Phantosur untuk mencari suaka. Apa kalian membutuhkan tumpangan untuk menyeberang?”

Leon memberi salam. “Kebetulan sekali. Desa Ilina tempat kami hendak menyeberang ternyata sudah dihancurkan manusia. Kami sangat berterima kasih bila Anda berkenan membawa kami menuju negeri kaum elf itu.”

“Kalau begitu lebih baik kita bergegas. Sanctifior pasti akan menyadari pasukannya berkurang. Tak lama lagi pasukan bantuan mereka datang!”

Kami mengangguk. Beberapa pengungsi yang masih selamat kami bawa naik ke atas dragiva. Karena hanya tinggal lima belas orang dari kami yang tersisa, mereka tidak kesulitan membawa kami orang perorang. Aku memilih untuk berangkat paling belakang bersama Leon dan Agatha. Kami berencana menumpang ke Roush-Tala. Dragiva miliknya mampu mengangkut hampir enam orang.

Saat semua sudah berhasil diangkut, tiba-tiba kami menyadari ada sesuatu melayang di atas langit. Kami mendongak bersamaan. Di atas sana, tanpa kami sadari sebelumnya, sebuah benda berukuran luar biasa besar melayang. Di samping kanan kirinya, puluhan yang lebih kecil melayang turun.

“Itu Bohemia! Kapal perang raksasa milik Sanctifior!” teriak Leon, “Mereka pasti disini mengejar kita!”

“Kalau begitu kita harus segera pergi. Terlalu berbahaya tetap diam disini. Puluhan rhapsodos di atas sana akan membantai kita kalau kita segera menyeberang!” ujarku.
“Naiklah dahulu, Agatha!”

Tapi belum sempat aku membopong Agatha ke atas dragiva, sebuah sinar hijau yang manusia sebut tembakan plasma menyongsong kami. Kami didorong Leon menjauh. Ledakan menghancurkan tempat kami berdiri tadi. Kulihat rhapsodos melayang-layang dengan ganas dan kembali melepaskan pelor panasnya bertubi-tubi ke arah kami.

“Agatha!!!” aku segera menghampirinya. Untung dia tidak apa-apa. Leon dan Roush-Tala segera bangkit menghampiri. Roush-Tala membawa kami bersembunyi di salah satu puing. Kudengar erangan-erangan menyakitkan. Saat kutoleh, korban sudah banyak berjatuhan. Para pejuang yang selamat berusaha membalas tembakan rhapsodos dengan sihir bola api biru. Tapi terlambat, benda itu membuat semacam perisai tak kasat mata yang mampu menetralkan sihir.

“Ini tidak bagus!” teriak Roush-Tala pada pasukannya, “Kalian menyeberanglah dulu! Kaum kita di perbatasan sudah siap melindungi kita. Aku akan menyelamatkan mereka!”
Para pejuang elf yang membawa pengungsi mulai terbang menjauh. Tapi bukan berarti Sanctifior membiarkan mereka. Puluhan atau bahkan ratusan rhapsodos mengejar mereka. Pertarungan tak seimbang terjadi di atas langit antara grabetur Grahdan dan grabetur Phantosur. Banyak dragiva yang tumbang dan jatuh ke Samudera Emis, lautan tak terbatas yang berada di dasar permukaan planet kami. Aku yang masih belum berangkat tak kuasa melihat mereka dibantai begitu mudah.

“Saudaraku, ayo naik!” ujar Roush-Tala akhirnya dengan wajah masih terlihat tegar, “Kita juga harus menyeberang!”

“Mia, ayo!”

Aku mendadak menggeleng.

“Apa maksudmu?”

“Tidak, aku tak bisa!” ujarku sambil menatapnya, “Kau lihat sendiri kan, mereka begitu brutal. Kita takkan punya peluang selamat dari mereka! Sekali kita terbang, kita pasti akan ditembak jatuh!”

“Lalu apa? Kita diam disini dan menunggu serangan ini berakhir?”

“Tolong jaga Agatha. akan kucoba merapal sihir dari sini untuk melindungi kalian.”
Kulihat wajah pria di depanku terbelalak.

“Kau menyuruh kami meninggalkanmu? Kau gila!!! Tidak! Kau bisa merapalnya saat kita naik dragiva! Ayo!”

“Tidak bisa, Leon. Melodia hanya bisa dinyanyikan dalam posisi tenang.”

Sekali lagi Leon terlihat terkejut. “Ap… Apa maksudmu? Melodia?! Kau takkan bisa menyanyikannya, Mia! Jangan bodoh! Kau bukan ibumu. Lupakan ide gila itu dan segera naik kemari! Kita pasti bisa melaluinya! Roush-Tala penunggang yang hebat!” teriaknya lagi penuh putus asa. Tapi tekadku sudah bulat. Agatha harus selamat walaupun aku kehilangan nyawa. Aku tidak peduli dengan teriakan Leon lagi. Tatapanku kini berfokus pada Agatha.

“Agatha, ikutlah dengan Leon. Berjanjilah kau takkan mati disini!”

Gadis itu tidak menggeleng dan tidak juga mengangguk. Kupeluk erat dirinya sambil menangis. Aku bisa mendengar sesenggukan darinya. Kugendong dia dan kuserahkan pada Leon.

“Kau sudah menepati janjimu untuk melindungiku. Kini aku memohon padamu untuk tetap menepati janjimu melindunginya.”

Leon tak bisa bersuara lagi. Dalam dentuman dan rentetan senapan mesin yang tak terputus itu, dia hanya mengangguk. Kupeluk mereka berdua sambil menahan diri untuk tidak menangis. Tapi air mata tak kuasa menetes.

“Tuanku Roush-Tala,” ujarku terisak, “Tolong bawa mereka ke Phantosur! Aku yang akan melindungi kalian dari sini!”

Pejuang elf itu mengerti. Dia lalu membawa mereka menaiki dragiva. Leon masih belum bisa berkata-kata. Agatha-pun hanya bisa menangis sesenggukan. Dragiva mulai beranjak terbang. Aku tak bisa berhenti menangis.

Puluhan rhapsodos rupanya sudah mengincar Roush-Tala. Pejuang tua itu membentuk perisai sihir untuk melindungi mereka. Meskipun begitu, gempuran bertubi-tubi tampaknya menyulitkan pejuang itu. Aku tak perlu memperlama diri. Mereka juga mengincarku sekarang. Aku berusaha mengingat semua yang diajarkan Mama. Nyanyian sihir yang hanya boleh dilagukan di saat semua kesempatan sudah hilang.

“Nim eru nabis enum… Sanem mobus eni sarum…”

“Para divion agung yang bernyanyi mengikuti Sang Kehidupan”

“Dalam kerendahan hamba naphlm yang tak berdaya, aku meminta yang tak terkalahkan”

“Penuhi sumpah ksatria. Penuhi janji kepada Bapa Zenithian dan Ibu Asmirand”

“Duhai Putra Perkasa Odin, kau yang tak tertaklukkan di sembilan dunia”

“Aku mengharap kerendahan hatimu membantuku”

“Sin orum puris enem edin”


Aku merasa diriku dipenuhi cahaya. Saat aku menyadarinya, cahaya yang begitu terang itu mencuat dari tubuhku dan menghujam menusuk langit. Tiba-tiba saja angkasa yang tenang menjadi bergolak. Kulihat pusaran gelap muncul di atas kami, di atas para rhapsodos, dan di atas pesawat raksasa itu. Dari pusaran itu keluar sebuah lubang hitam besar. Sesaat aku takjub, inikah Melodia? Benarkah aku yang merapalnya?
Dari balik lubang itu, kudengar ringkikan yang sanggup memecahkan gendang telinga. Seekor kuda pucat berkaki delapan muncul dari lubang itu sambil menapaki udara kosong turun ke bumi. Di atasnya terdapat seorang penunggang berbaju perak yang membawa tombak terhunus di tangannya. Kuda itu berlari begitu kencang ke arah kapal-kapal berada dan meninggalkan jejak berapi di belakangnya. Terdengar suara berbisik di telingaku.

“Aku penuhi panggilanmu, pemuja Euwyr. Biarkan musuhmu tahu amarah dari Odin, sang pangeran divion!”

Suara sirene meraung dari arah pesawat raksasa itu. Semua rhapsodos bergerak menghampiri sosok yang mungkin sangat asing bagi mereka. Tapi saat mereka semua hendak menyerang, penunggang kuda itu melepaskan tombaknya.

Cahaya luar biasa terang seakan membutakanku. Kudengar gemuruh yang sangat dahsyat bagai ribuan petir di siang bolong. Kulihat cahaya itu telah membuat pesawat raksasa disana berlubang besar. Tombak Odin menembusnya hingga menghujam grabetur. Bohemia dan ratusan rhapsodos yang mengikutinya binasa dalam ledakan yang jumlahnya tak hingga. Langit biru pagi berubah menjadi bara lautan neraka.

Ledakan itu ternyata tidak berhenti begitu saja. Tombak Odin yang menembus Bohemia rupanya menghujam grabetur tempatku berada. Tanah tempatku berpijak bergemuruh. Muncul retakan di tanah yang semakin lama semakin besar. Aku tidak terkejut. Aku sudah menduga ini yang akan terjadi. Tanpa ada sedikitpun tenaga untuk bergerak, aku memilih duduk pasrah. Beberapa bongkah bebatuan berjatuhan dari ujung grabetur. Tanah yang kupijak pun ikut runtuh. Bagian ujung grabetur itu, bukit, hutan pinus, desa Ilina, dan juga diriku, semuanya terjatuh ke dalam Samudra Emis.
Dalam kejatuhanku, aku melihat dragiva terakhir meluncur dengan selamat menuju Phantosur. Dragiva yang dikendarai Roush-Tala yang membawa Leon dan Agatha. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Agatha akan selamat. Kucukupkan tugasku sampai disini. Biarlah jasadku ditelan dinginnya samudera, asalkan adikku bisa mendapatkan kebebasan di seberang sana.

(Tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar